Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Dakwah adalah amal yang sangat mulia, bahkan bisa lebih bernilai dari membaca al-Quran. Namun, apa jadinya jika dakwah di lokalisasi dan diskotik?
Di sini kita dihadapkan pada dua hal berbeda yang saling bertolak belakang.
Satu sisi, dakwah mengajak orang untuk jadi baik dan produktif. Sementara, lokalisasi dan diskotik sangat identik dengan hedonisme dan hura-hura semata.
Dakwah adalah aktivitas mengajak kepada jalan Allah. bernilai tinggi di mata Allah. Sebagaimana firman-Nya berbunyi:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَآ إِلَى ٱللَّهِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا وَقَالَ إِنَّنِى مِنَ ٱلْمُسْلِمِينَ
Tidak ada ucapan yang lebih baik dari mengajak kepada Allah (dakwah), beramal shaleh, dan berkata “aku bagian dari orang Islam”. (Fusshilat: 33)
Sementara kita tahu, di lokalisasi dan diskotik justru campur baur lawan jenis sangat bebas.
Padahal, larangan menjauhi pintu fitnah wanita sangat jelas tertulis dalam al-Quran dan Hadits.
Kita tidak menafikan tujuan baik dari dakwah, menyelamatkan orang dari dosa. Tapi, bukankah hal ini justru mengundang tuduhan pada diri sendiri dan agama Islam?
Ibarat mengemudi Ambulan untuk menyelamatkan satu nyawa di jalanan ramai. Tapi membahayakan nyawa ribuan orang dan membuat kacau lalu lintas kota hanya karena kita memegang wewenang bebas laju tanpa hambatan.
Memang benar, para Nabi mendatangi tempat-tempat berkumpul kaumnya dalam rangka berdakwah; pasar, majelis, basecamp, hari-hari perayaan. Pokoknya, di mana ada orang, ke sana beliau menuju.
Tapi tidak pernah diriwayatkan para Nabi mendatangi lokalisasi pelacuran.
Padahal, siapa yang lebih semangat memperbaiki kaumnya? Siapa yang lebih terbimbing oleh Petunjuk Langit tentang cara dakwah? Siapa yang lebih sayang kepada kaumnya, Nabi atau kita?
Jika Nabi tidak pergi ke lokalisasi pelacuran, apakah Nabi tidak menginginkan kebaikan bagi mereka ? Tidak ingin menyelamatkan mereka ?
Meski untuk tujuan dakwah, ketika seorang dai mendatangi lokalisasi, ia telah menghamparkan punggungnya untuk menjadi sasaran fitnah.
Siapa kita? Emangnya PSK peduli siapa dan kompetensi antum?
Tidak.
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
المرءُ على دينِ خليلِه
Orang itu sefrekuensi dengan kawannya. (Hadits riwayat Ahmad, Tirmidzi dan Abu Daud)
Seorang biduan akan cenderung tidak kenal Imam Malik dan Imam Syafi’i. Dukun akan cenderung tidak tertarik tentang Abdurrahman bin Auf dan Abdullah bin Hudzafah.
Demikian juga seorang pelacur dan orang mabuk.
Kecuali, jika antum selebritis, kaya, terkenal mungkin mereka baru mau dengar.
Jadi, tidak worthed berdakwah di lokalisasi dan diskotik. Terlalu besar resiko dan minim probabilitas keberhasilan.
Belum lagi, sejak awal mereka memang bertujuan untuk dansa, dengar musik dan dilayani.
Kita hanya diminta menyampaikan pesan dakwah, tidak diwajibkan mendatangi lokalisasi untuk berdakwah.
وَمَا عَلَيْنَا إِلاَّ الْبَلاَغُ
Kami hanya disuruh menyampaikan… (Yasin: 17)
Lantas, siapa yang akan mengajak mereka kembali dan bertaubat, kalau kita terkesan cuci tangan ?
Mari kita lihat akar masalahnya dulu. Sebagian besar pelacuran didorong oleh faktor ekonomi, dan rendahnya bekal pendidikan agama. Ada faktor lain tapi itu tidak signifikan.
Faktanya, banyak orang miskin tapi tidak melacurkan diri, karena agamanya baik.
Asatidz berdakwah memperbaiki keluarga, menanamkan aqidah yang benar, mengajarkan Islam pada keluarga, maka sama saja sudah berinvestasi di masa depan dalam mencegah maksiat, termasuk pelacuran.
Sisi ekonomi, maka ini tugas orang-orang kaya untuk berzakat. Tugas ustadz, menyadarkan kewajiban zakat mal dan wakaf. Jika konsep ini berjalan, maka pelacuran bisa dicegah.
Pelacur, bukan tidak tahu perbuatannya salah dan dosa, mereka tahu, tapi mereka tidak punya pilihan, mati atau melacur.
Sekali lagi, kalau Anda orang kaya, seleb atau pengusaha, Anda bisa berdakwah pada mereka dengan membagi harta dan uang.
Ini lebih real manfaatnya.