Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Matahari sudah terik, tapi jam pulang belum juga berdenting. Waktu seakan tertahan hingga bel pulang seolah tak akan pernah berbunyi. Kebosanan mulai menimpaku. Kelas sangat sunyi karena kami tengah menyalin materi yang dicatat di white board oleh Dea sekertaris kelas.
Pak Apri dengan tenang memperhatikan kami. Sesekali ia bangkit dari bangkunya dan berjalan seakan mengintai agar tidak lengah. Guru seni budaya ini sangatlah teliti sekaligus tegas. Jika ia mendapati kesalan terjadi pada muridnya, ia takkan segan memberi hukuman tanpa toleransi, dengan alasan agar tidak mengulangi kesalahan lagi.
Jika aku lengah, tertidur di kelas misalnya. Entah hukuman berat apa yang harus aku jalani. Tapi sungguh, mataku ini benar-benar terasa berat. Rasa kantuk ini pasti karena semalam aku membaca habis novel terbaruku, didukung dengan suasana kelas yang sangat tenang.
Pak Apri duduk kembali dan memperhatikan tulisan Dea. Jika aku tertidur kira-kira hukuman apa ya untukku? Lari mengelilingi lapangan mungkin, push up, atau membersihkan toilet? Kalau seperti itu aku masih bisa jalani. Permasalahannya Pak Apri bukan guru olahraga yang akan memberikan hukuman fisik, beliau pasti akan memberikan hukuman yang sesuai dengan pelajarannya. Seperti menyanyikan lagu-lagu daerah.
Tunggu, bernyanyi? Aku mana bisa bernyanyi. Bukan masalah lagu daerahnya, tapi suaraku sangat tidak merdu untuk benyanyi. Aku tidak boleh tertidur, tidak. Jika aku lengah sedikit saja, bernyanyi akan menyiksaku. Hukuman itu siap menantiku.
“Arly, Ar..”
“Gak pak, saya gak tidur.”
“Gak tidur apanya, jelas-jelas mata ketutup rapat begitu. Kamu gak niat nginap di sini kan? Bangun Arlykaaaa…”
Mataku langsung terbelalak. Suara itu menyadarkanku bahwa barusan aku tertidur. Rama menatap seakan ia telah menantiku untuk bangun sejak lama. Tapi kok Rama? Bukannya kita beda kelas? Ku lihat sekeliling, kosong, kemana yang lain?
“Semuanya udah pada pulang kecuali kita.” Rama menjawab pertanyaan yang belum aku lontarkan.
“Pak Apri?”
“Udah nyampe rumah kali.” Jawab Rama. “Maaf kalau aku harus bangunin kamu, karena kamu tidur di sini udah lebih dari satu jam dan aku takut kamu akan pulas sampai besok…”
“Stop!” Aku menghentikan perkataan Rama yang seperti tabrakan beruntun dan tidak tahu dimana ujungnya. “Sobatku yang paling baik, terima kasih ya udah mau nemenin aku tidur dikelas.”
“He’emp.” Jawab Rama. “Sekarang kita pulang yuk!” ajaknya.
Aku baru sadar bahwa Rama benar-benar penyabar. Sangat membosankan pasti saat tadi dia menungguku selama satu jam. Tapi ia melakukannya untukku. Dari pertama mengenalnya, Rama selalu baik padaku.
Matanya terpejam tenang, nafasnya perlahan berhembus ke jantungku, keteduhan wajahnya terasa begitu syahdu di jiwa hingga membuatku ingin menyanyikan lagu Rhoma Irama. “Bila kamu, di dekatku.. hati rasa… shahdu…” Kenapa wajah polos itu tak mau pergi dari pikiranku? Si polosku, kapan dia menyadari bahwa aku selalu memperhatikannya.
“Mikirin cewek sih boleh, tapi pelajaranya jangan sampai terabaikan ya!” ujar Yogi mengaburkan lamunanku.
Kakakku satu-satunya ini sangat peduli, mungkin karena orang tua kami bekerja di luar kota dan di rumah hanya tinggal kami berdua, jadi ia merasa bertanggung jawab penuh atas diriku selama orang tua kami tidak ada. Selepas itu semua, aku tahu bahwa ia sangat menyayangi adiknya ini.
“Iya Ka, aku kan pelajar yang profesional. Gak pernah mencampur adukan pelajaran dengan perasaan. Pelajaran tetap nomor satu.” Jawabku menyakinkanya.
“Bagus! Eh, teman kamu yang cantik itu siapa namanya?” Tanyanya tiba-tiba.
“Yang paling cantik, maksudnya Kinari? Kenapa?”
“Kayaknya kakak sering banget lihat dia di RS, waktu kakak nemenin Andi cek up.” Jelas kakakku.
“Ya dia cek up juga, kebetulan kali jadwalnya sama.”
“Cek up biasa atauuu?”
“Kenapa sih emang? Kakak suka sama dia? Jangan dah, dia susah dideketin. Kamu harus bisa ilmu bela diri, baru hatinya bakal luluh.” Jelasku.
“Sama cewek cantik siapa yang gak suka? Tapi masalahnya. Kakak pernah liat dia nangis waktu keluar dari ruang dokter.”
Deg, kenapa aku tiba-tiba merasa janggal mendengarnya. Jangan-jangan Kinari mengidap penyakit. Tapi aku tidak pernah melihat sesuatu yang aneh darinya. Semua biasa-biasa saja. Apa aku tanyakan saja padanya?
Kinari sangat ceria, asik mengobrol dengan Arly di depan kelas. Bagaimana aku menanyakannya? Kalau Kinari punya penyakit akut, apa Arly tahu? Tapi sepertinya semua baik-baik saja. Tak lama Arly pergi, mungkin kembali ke kelasnya. Kinari datang menghampiri ku.
“Kepergok! Kamu dari tadi liatin Arly kan?” tuduh Kinari.
“Nar, emang semua perempuan itu gampang nangis ya?” tanyaku mencoba, tanpa meladeni tuduhan Kinari padaku.
“Kebanyakan sih gitu, karena perempuan sering pakai perasaan, penuh penjiwaan, jadi lebih mudah nangis deh dibanding laki-laki.” Jelasnya tanpa ragu.
“Kalau kamu kapan terakhir kali nangis?”
“Kapan ya?” Kinari berpikir, seolah ia jarang menangis. Kalau ia jarang menangis, berati semua baik-baik saja kan? “kayaknya sih, pekan lalu deh waktu di rumah sakit.”
Deg, apa ini yang Yogi maksud ia melihat Kinari menangis. Kenapa?
“Nangis di rumah sakit? Kenapa?”
“Emp… tapi kamu jangan bilang-bilang ke yang lain ya!” pintanya berbisik. “Aku sedih karena dokter Firman gak bisa datang, padahalkan alasan aku ke rumah sakit cuma mau ketemu dia. Tapi ternyata, dokter yang super ganteng dan baik hati itu gak bisa nemuin aku.”
“Maksudnya?”
“Aku suka sama dokter Firman.” Kinari memperjelas keterangannya.
“O, pantesan pacar kakak aku suka nangis cuma karena gak bisa ditemanin ke mall, tapi bukannya kalau begitu berlebihan ya?”
“Emp, iya sih.”
“Eh, kamu udah ngerjain peer MTK?” aku mengalihkan pertanyaan agar Kinari tak menayakan mengapa aku membahas tetang tangisan.
“Udah lah! tenang aja Ram.. kamu gak akan bisa ngalahin aku dalam pelajaran.” Katanya sok pintar sambil berlalu dari hadapanku. Tapi memang harus diakui bahwa Kinari sangat pintar dan menjadi saingan terberatku di kelas.
Sebenarnya Kinari sangat cantik, sangat pintar, pandai memposisikan dirinya, tapi kenapa aku tidak tertarik padanya? Padahal laki-laki lain banyak yang tergila-gila padanya. Apa aku tidak normal? Kenapa aku lebih menyukai Arly? Padahal banyak yang berpendapat bahwa Arly lebih baik dijadikan sahabat saja, bukan pacar. Aku tidak mengerti. Hanya, aku tidak bisa membohongi perasaanku yang bersemi dari tahun lalu.
“Hari ini aku hampir aja lupa ngasih kamu permen.” Ujar Arly melintas di hadapanku sambil meletakkan permen di tanganku.
Aku menarik tanganya. “Terima kasih.” Dengan senyum saat melepasnya. Arly balas tersenyum dan pergi.
Aku pandangi permen pemberiannya. Entah sudah berapa buah permen yang terkumpul di stoples-tsoples khusus-ku. Mungkin Arly akan terkejut jika mengetahui bahwa aku tidak pernah memakan permen pemberiannya. Sejak sadar menyukainya, aku tak pernah malahap permen pemberiannya. Melainkan aku simpan di stoples dan disembunyikan dalam lemariku agar tidak ada yang memakannya. Sebanyak permen pemberian Arly yang aku simpan, sebanyak itu pula hari-hari yang aku lalui dengan persaan untuknya.