Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Berbicara dengan gaya bahasa yang menarik, kosakata rumit, susunan kata njelimet, dan kalimat-kalimat antah berantah bukan lah perkara sulit ketika memiliki pendidikan tinggi dan kepintaran yang dianugrahkan Tuhan.
Namun, ada juga yang memandang bahwa berbicara dengan bahasa ilmiah tingkat tinggi adalah satu keharusan, demi sebuah wibawa karena dianggap orang elit.
Sayangnya, karena tidak didasari dengan ilmu yang mumpuni, tidak jarang terlihat konyol dan bodoh.
Pada dasarnya, bahasa yang baik adalah yang dimengerti oleh kita sendiri dan juga dimengerti lawan bicara kita. Maka efektif dan benarlah bahasa tersebut. Apapun bahasanya, teori dan prakteknya sama.
Keluar dari aturan yang ada, melanggar kaidah berbahasa tanpa adanya tata bahasa, seperti Nahwu dan Grammar tidak ada larangannya. Karenanya, bahasa ini menjadi kaya karena kreatifitas penggunanya, akan tetapi pastikan dapat dimengerti oleh kita sendiri dan juga dipahami lawan bicara.
Dalam kondisi kekinian, ketika orang-orang galau dengan eksistensi sendiri, banyak orang yang merasa jika dia menggunakan bahasa keren, maka dia akan terlihat hebat dan modern.
Coba perhatikan poster dan spanduk caleg, orang-orang parpol. Dari 10 spanduk/poster mereka, dengan cepat kita akan menemukan separuh lebih yang memaksakan diri ingin terlihat beken.
Menggunakan bahasa Inggris, itu satu, bahkan kalimat standar bahasa Indonesia pun dipaksa diinggriskan. Kalian tahu ‘mohon maaf lahir batin’ dalam bahasa Inggris? ask sorry born and inner.
Silakan ketik di google translate satu per satu kata tadi, maka jadilah kalimat aneh itu, ask sorry born and inner. Terpajang di poster selamat lebaran kawan kita yang lagi nyaleg. Keren? Mungkin iya.
Coba perhatikan cara bicara politikus, selebritis di media massa, di website, jejaring sosial miliknya. Beberapa memang jago, tapi banyak yang ingin sekali terlihat pintar. Bicara berlebihan, itu yang kedua. Bicara seolah komprehensif.
Saya tidak tahu, apakah memang ada korelasi bicara keren dengan terpilih atau tidak. Tapi tampil keren dan berlebihan seolah jadi wajib bagi orang2 ini, termasuk mencantumkan gelar-gelar hebatnya dan bisa jadi gelar itu diperoleh dengan cara membeli.
Golongan berikutnya yang terlihat ingin keren dan media massa menyambarnya menjadi konsumsi liputan adalah selebritis dan para pesohor.
Entah mengapa, selebritis-seleberitis tertentu (sorry to say, misalnya penyanyi dangdut wanita atau model dewasa), ‘heboh’ sekali saat diwawancara, juga saat tampil dalam acara talkshow, dsb.
Mereka mungkin tidak menyadari sedang jadi bulan-bulanan wartawan, dijadikan pemanis rating atau penambah hit ke laman website berita. Bukan sedang diberitakan karena potensi brilian dari sohornya dia.
Apakah orang-orang respek dengan istilah-istilah tenar dari artis ini? Atau hormat dengan cara bicara kerumunan ini? Tidak.
Orang-orang sedang butuh bahan tertawaan. Tetapi dalam dunia yang labil sekali ketika sudah menyangkut tentang perut dan kemakmuran hati, pelakunya justeru merasa mereka sedang tenar pol, bukan sebaliknya sedang dicemooh.
Dua golongan ini, politikus dan selebritis, memberikan contoh buruk secara massif di sekitar kita. Sementara di kaki gunung es yang tidak terlihat itu, hadirlah kita semua, sebagai pengguna bahasa sehari-hari. Situasinya lebih serius lagi.
Coba cek lapak forum diskusi, website berita, cara bicara tidak nyambung ini lebih banyak lagi. Kenapa mereka melakukannya?
Karena ingin terlihat beda, mencari perhatian. Termasuk menggunakan kosakata inggris, kosakata milik politikus itu, yang keliru penulisannya (boleh saja keliru tulis, tapi jangan kebangetan).
Orang-orang ingin sekali terlihat bergaya. Alay, adalah contoh raksasa di sekitar kita. Kenapa anak-anak sekarang mengganti nama mereka dengan nama-nama tidak jelas? Berlebihan sekali? Karena mereka pikir itu keren.
Sungguh mereka akan segera ganti detik itu juga, kalau besok satu sekolah mentertawakan.
Malu. Isin. Tapi teman-temannya ternyata juga melakukan hal yg sama, bahkan semakin aneh, merasa semakin keren gila, gokill.
Maka bagaimana mungkin mereka merasa itu aneh. Termasuk menggunakan tulisan alay, berkomunikasi dengan alay. Mereka kira itu keren.
Apakah boleh alay? Boleh, jawabannya.
Saya sudah mengunci penjelasan di awal tulisan ini.
Jika alay ini bicara dalam lingkungan mereka sendiri, bisa dimengerti oleh mereka, maka efektiflah bahasa mereka. Tidak masalah.
Tapi ketika alay ini tetap bicara dengan gaya bahasa tersebut di dunia yang berbeda, situasi berbeda, tempat berbeda, akan menjadi masalah buat orang lain dan buat mereka sendiri.
Bukan hanya itu, kegagalan paling besarnya adalah keinginan tampil keren lewat bahasa. Ini fatal sekali. Karena bahasa itu alat komunikasi, bukan kosmetik atau tas cantik.
Percayalah, jika kalian orang-orang yang suka menulis, suka bicara di depan orang banyak, resep paling sukses adalah sebaliknya, semakin sederhana bahasa kita, semakin indah yang kita sampaikan.
Sungguh spesial sekali seseorang yang bisa menjelaskan 10 hal rumit, hanya lewat satu kalimat sederhana. Kalimat itu menjadi membekas, menyentuh ke bagian terdalam pendengar atau pembacanya.
Seorang editor berpengalaman, akan tahu sekali sebuah tulisan yang memperumit, berbunga-bunga, diulang-ulang, panjang lebar, padahal sebenarnya bisa digantikan satu kalimat simpel doang.
Nah, jika kalian bercita-cita ingin jadi penulis, public speaker, pesohor, selebritis, bahkan politikus hebat seperti Bung Karno, akan saya kembalikan kepada kalian, apakah kalian akan memulainya dengan pemahaman ini atau tidak.
Orang-orang yang memang punya sesuatu yang pantas didengarkan, selalu bisa menyampaikannya dengan cara sesederhana apapun; tapi mereka yang kosong saja, tidak ada yang perlu dia bicarakan, mau dibungkus dengan gaya bahasa apapun, tetap kosong.
Sumber:
- Darwis Tere Liye