Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Dewasa ini masyarakat dunia, Indonesia khususnya punya cara aneh dalam menilai agama orang lain. Bukan lewat ilmu ataupun akhlak yang diaplikasikan dalam bersosialisasi, melainkan dari cara berpakaian yang sebenarnya hanya tampak dari luar.
Misalnya, orang bertato dianggap preman, wanita gak pakai hijab syari divonis pelacur, pakai niqab dibilang radikal, dll…
Nyatanya, pandangan seperti itu belum tentu benar. Istighfar–lah saat Anda suudzon terhadap orang lain. Saat wanita muslimah berbusana sopan, menutup aurat sesuai syariat, kemudian berbuat kesalahan atau dosa, tidak jarang yang mencibir “Munafik loe, dasar muna, kardus (kerudung dusta) …” dsb.
Seolah, ketika seorang wanita berkomitmen menjaga kehormatannya dengan berbusana yang baik, lantas saat itu juga dia jadi malaikat. Seakan, wanita bercadar tidak pantas berbuat kesalahan. Tidak! Itu salah besar.
Akibatnya, banyak wanita yang merasa segan berkerudung, berhijab, bercadar, untuk menutup aurat sempurna, walau sebenarnya mereka ingin sekali. Inilah efek buruk masyarakat yang keliru memandang sesuatu.
1. Baju Muslim
Kasus lain adalah pakaian gamis. Bagi masyarakat di Asia Selatan atau TImur Tengah, baju gamis dimaknai sebagai pakaian tradisi. Pakaian itu tak ada sangkut pautnya dengan tingkat keilmuan, identitas keagamaan apalagi moralitas seseorang.
Lewat Youtube kita akan banyak menemukan para pelaku kriminal melakukan aksinya dengan mengenakan baju gamis. Agama yang mereka anut beraneka.
Jika ada oknum masyarakat yang melakukan tindakan kriminal dengan mengenakan gamis, masyarakat akan memandangnya sebagai sebuah tindakan kriminal biasa, tidak disangkut pautkan pada agama si pelaku.
Sama halnya saat seorang preman kampung di Indoensia mencuri kambing dengan menggunakan kaos, orang akan biasa-biasa aja.
Namun berbeda halnya dengan baju gamis di mata masyarakat Indonesia. Pada umumnya masyarakat kita memaknai baju gamis dan baju koko sebagai pakaian yang identik dengan pakaian seorang muslim. Baju gamis juga dimaknai sebagai seorang yang berilmu agama dan seorang yang taat menjalankan perintah agama.
Anggapan ini terjadi, mungkin karena dulu para pemuka agama selalu menggunakan baju gamis ini untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari.
Alhasil, saat orang yang jahil dalam ilmu agama seperti saya mengenakan baju gamis, maka masyarakat akan menilai saya sebagai seorang ahli agama atau seorang yang taat menjalankan perintah agama. Padahal, belum tentu.
Dalam kajian semiotika, pemaknaan-pemaknaan oleh sekolompok orang terhadap sebuah bentuk, suara dan gerak disebut dengan simbol. Oleh karena itu bendera merah putih disebut sebagai simbol negara.
Artinya, kain dengan dua warna itu disepakati sebagai benda yang dihormati. Sehingga kalau ada orang yang menjadikan kain merah putih itu untuk membersihkan meja warung kopi misalnya, maka tindakan itu akan dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap lambang negara.
Kain berwarana merah putih itu tak akan memicu keributan di negara Afrika, misalnya.Walau dijadikan bahan untuk karpet kamar mandi. Mengapa? Karena mereka tidak menyepakati kain merah dan putih itu sebagai simbol yang harus dihormati.
Nah, sekarang ini banyak pihak yang menggunakan simbol-simbol itu untuk mengelabui orang banyak. Mereka menggunakan simbol-simbol keagamaan demi mewujudkan kepentingan material atau kepentingan pribadinya.
Contohnya, kopiah alias songkok. Penutup kepala ini adalah simbol yang disepakati sebagai pakaian pejuang yang punya spirit kebangsaan atau simbol seorang yang memiliki moralitas yang baik. Namun, karena banyaknya kepala daerah dan politikus yang berkopiah setelah ditangkap KPK karena korupsi, akhirnya makna dari simbol itu mulai mengalami pergeseran.
Tidak heran saat kuliah dulu, ada guyonan “ente mau jadi politikus?” saat ada teman yang awalnya tidak pernah pakai tutup kepala, tiba-tiba pakai peci.
Penggunaan simbol-simbol keagamaan ini juga sering dilakukan untuk memecah belah sebuah kelompok masyarakat. Faksi-faksi politik di Timur Tengah sering digunakan oleh negara-negara adikuasa untuk merusak image komunitas muslim di dunia.
Mereka melakukan kekerasan, memeras, merampok, bahkan meledakan bom dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan dan jargon jihad dan takbir. Tujuannnya beraneka ragam. Bisa dalam rangka untuk merusak citra kaum muslimin dunia, bisa pula dalam rangka untuk memecah belah kekuatan politik di sebuah kawasan politik tertentu.
Padahal sebuah simbol bukanlah sebuah kenyataan apalagi sebuah kebenaran. Simbol hanyalah sebuah tanda yang disepakati maknanya. Kesepakatan itupun bisa saja berubah pada ruang dan waktu yang berbeda.
2. Simbol Agama Islam
Pemahaman yang benar agar kita tidak tertipu, nilailah seseorang dari akhlaknya. Menilai agama harus dari ajaranya, bukan oknum apalagi simbol-simbol yang melekat padanya.
Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Muhammad ﷺ sejak 14 abad yang silam:
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perbedaan antara kita (muslim) dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkan shalat maka dia telah kafir.” (Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah)
Di sini kita bisa menangkap bahwa tanda bukti dan ciri-ciri seorang muslim adalah shalat. Artinya, bukti seseorang itu benar-benar muslim bukan baju gamis, kopiah, kaos bertuliskan “jihad”, apalagi lambang bulan-bintang.
Mengenai shalat ini Nabi bersabda:
فَإِنْ صَلُحَتْ صَلُحَ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ
Bila shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika shalatnya rusak maka rusak pula seluruh amalnya.” (at-Thabarani)
Tidak sembarangan Rasulullah menjadikan shalat sebagai identitas seorang muslim. Karena, jika shalat seseorang sudah benar berintegritas, moralnya akan baik, kepribadiannya turut indah, tentu saja akhlaknya mulia.
Akhirnya, saya tutup artikel ini dengan statement menarik dari seorang kiayi kharismatik, K.H. Hasan Abdullah Sahal:
Nyatakanlah kebenaran, bukan membenarkan kenyataan.