Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Ada saja hal kecil yang secara automatis mengungkit kembali kenangan lama semasa menjadi santri KH. Imam Zarkasyi.
Pagi ini, ketika rintik-rintik kecil menatap wajah Jakarta, mendadak fikiran saya melayang ke tahun 1980, musim hujan pertama saya di Gontor. Pagi itu jum’at, hari tidak masuk kelas di Gontor.
Tidak biasanya lonceng panjang berdentang panjang sekali. Pertanda semua penduduk Gontor harus kumpul di BPPM (Balai Pertemuan Pondok Modern), tanpa kecuali. Semua paham itu perintah otoritas tertinggi yang arus dipatuhi.
Nampaknya, pertemuan itu sama sekali tidak direncanakan, sehingga Bagian Pengasuhan Santri dan Bagian Keamanan OPPM (Organisasi Pelajar) serentak berseliweran baik dengan berlari atau menggunakan sepeda untuk menggesa santri-santri yang saat itu kebanyak tidur, tidur-tiduran, lesehan dan duduk bersender di dinding-dinding rayon atau tiang-tiang di depan koridor.
“Hayya hayya hayya bissur’ah” (ayo cepat, cepat, cepat!). Teriak mereka sahut menyahut.
Kiyai Zarkasyi sudah duduk lebih dahulu di atas kursi tinggi di depan podium sambil menunggu kedatangan para guru dan santri, sementara Bagian Penerangan OPPM sangat sibuk menyiapkan sound system. Lokasi rayon saya paling dekat, Kibar Baru, hanya beberapa puluh langkah dari gedung pertemuan.
Saya dengar gemuruh suara kaki berlarian menuju aula besar itu, namun begitu kaki memasuki gerbang, mendadak ayunan dan hentakan kaki diperlemah seperti berjinjit menghindari suara gesekan dengan tegel yang licin.
Di depan panggung nampak jelas Pak Zar sudah duduk menunggu. Mana ada yang berani bikin ribut?!
Sekitar 15 menit kemudian seribuan lebih santri sudah duduk khusyuk di dalam aula, para guru dan bagian keamanan berdiri mengitari karena tidak kebagian tempat duduk-begitulah aturan tak tertulis di Gontor, yang besar menyayangi yang kecil.
Semua tertanya-tanya, apa gerangan kejadian penting yang akan disampaikan Pak Kiyai.
Seperti biasa Pak Zar akan mengetuk-ngetuk mike (tidak pakai suara seperti hallo…hallo tes…tes tes, atau chek…chek…chek. Sama sekali tidak pernah begitu). Show then begun!
Pak Zar kerap mengingatkan “Khairul bidaayati nisful amal” (permulaan yang baik adalah setengah dari keberhasilan).
Beliau adalah orang yang paling rigid dalam menjalankan metode pengajaran.
Kali ini beliau akan melaksanakannya. Basmallah…salam…tahmid dan shalawat kemudian dialog pembukaan:
- Pak Zar: Apa yang kamu lakukan kalau lapaaaar?
- Santri : Makaaaaaaaaaaan….!
- Pak Zar: Kalau hauuuuus?
- Santri : Minuuuuuuuum…!
- Pak Zar: Kalau ada orang yang belum lapar dan haus tapi makan dan minuum, apa namanya?
- Santri: Rakuuus.
Pak Zar sudah merasa cukup melakukan warming-up, yang dalam metode pengajaran dinamakan al-Muqaddimah bil as ilatil muta’alliqati bil makluumatissabiqoh (dialog pembuka dengan pertanyaan yang diketahui audiences sebelumnya).
Kemudian beliau masuk kedalam inti tujuan perkumpulan itu.
Apapun masalahnya, Pak Zar selalu punya cerita yang sesuai dengan topik yang akan disampaikan. Entah sudah disiapkan sebelumnya atau spontanitas karena kapasitas orang-orang hebat memang demikian.
Saya juga pernah mendengar beberapa pidato Bung Karno, M. Natsir dan Hamka bahkan pemimpin populer Venezuela, Hugo Chaves selalu mengawali pidatonya dengan cara seperti itu.
Kali ini beliau bercerita tentang kunjungan Pak Natsir ke Jepang. Konon Pak Natsir masih tidur kedinginan dalam hotelnya di Tokyo sampai pagi. Tak lama kemudian terdengar pintu diketuk, ternyata beberapa orang dokter dan perawat sudah menunggu di luar dan meminta izin untuk merawat beliau.
Kontan Pak Natsir kaget dan menyatakan bahwa beliau baik-baik saja. Namun para dokter dan perawat bertanya keheranan, “Kalau tuan sehat-sehat saja mengapa sampai siang begini bapak masih tidur saja?
Para guru dan santri yang dari tadi mendongak ke arah panggung dan kursi tinggi itu, lalu mendapat berondongan pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban.
“Tadi saya keliling Pondok… di mana-mana, di majid, di kelas, di rayon (asrama)… di manapun saya lihat anak-anak tidur, duduk-duduk, malas-malasan… Padahal kalian semua belum bekerja apa-apa; Belum lapar kok makan, belum capek kok istirahat…”, “itu apa namanya…?” Beliau berteriak lantang sekali.
Mendadak kepala kita semua memuat assosiasi kepada dokter dan perawat Jepang itu dan serentak menjawab “Sakiiiiiiit….”
Pak Zar mengetuk mike… semua terdiam. Beliau meneruskan “Hujan? Ya Hujan!. Bukankah hujan itu rahmat? Mengapa kalian menyambut rahmat Allah dengan tidur dan malas-malasan? Siapa yang mengajarkan kalian begitu?” Tak ada jawaban.
Pak Zar meneruskan, “Menurut ilmu jiwa, orang yang sakit karena hujan itu adalah mereka yang kehujanan, sedangkan mereka yang hujan-hujanan tidak akan sakit, bahkan menjadi lebih segar dan lebih sehat.”
“Kalian semua adalah pemuda-pemuda yang tangguh, bukan garam yang akan meleleh kalau diguyur hujan.”
Pak Zar, “Mengerti?”
Jawaban gemuruh, memekakkan telinga “Ngertiiiiiii!!!”
“Wassalamu’alaikum…” pertemuan ditutup dengan hamdalah.
Sejak saat itu, semua isi pondok seperti kena setrum, melompat dari posisinya dan berkeliaran menyongsong hujan. Tidak ingin menjadi “Pemuda Garam” yang takut dan menghindari hujan. Begitulah guru dan pendidik telah meletakkan fungsi hujan pada proporsinya.
Hujan adalah rahmat. Tidak sepantasnya menjadi penghambat. Jika wali santri sempat ke Gontor di musim hujan… Buktikan cerita saya ini. Tak akan ada anak-anak meringkuk lesu dan tidur jika hujan deras mengguyur.
Mereka justru berlarian ke tengah hujan ada-ada saja yang dilakukan. Hujan dan becek adalah rahmat bukan perkara undangan menuju pulau kapuk.
خير البداية نصف العمل
Sumber: K.H Hasanain Juaini