Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Salaman akhir tahun antar seluruh isi Pondok Gontor dari Pimpinan, guru-guru dan seluruh santri adalah sunnah Pondok yang diadopsi dari hadits Rasulullah ﷺ
Bersalaman itu menguatkan rasa saling mencintai dan mengugurkan dosa.
Jika ada diantara tangan-tangan itu yang pernah bersentuhan dengan tangan suci Rasulullah atau dengan tangan yang pernah bersentuhan dengan tangan Rasulullah atau tangan tangan…tangan…tangan yang pernah bersentuhan dengan Rasulullah maka akan masuk syurga.
Berpisah atau pulang liburan tanpa mengikuti salaman akhir tahun ini entah akan terasa hampanya seperti apa, saya tidak tahu karena tak pernah ketinggalan sekalipun.
Kisah nyata ini saya batasi sekitar bulan April, 1985. Seingat saya hari itu Selasa pagi tanggal 30, keluarga besar Gontor sedang tenggelam dalam suasana ujian akhir tahun. Ujian lisan Gontor sudah dilalui sepekan lamanya namun genderang persiapannya sudah ditabuh jauh sebelum itu.
Tentu ibu-bapak Walisantri Gontor tahu bagaimana suasana ujian akhir tahun di Gontor yang mirip dengan saat menunggu nasib antara naik, tidak naik, hampir naik dan hampir tidak naik.
Satu saja yang paling sulit dibayangkan yaitu kalau yang terjadi adalah tidak naik. Di sinilah dieksekusi filosofi “sesal dahulu pendapatan dan sesal kemudian tiada berguna”.
Siang malam santri-santri berupaya mengepung semua kemungkinan soal-soal ujian dengan berbagai jawaban. Riuh rendah disetiap pojok mereka berdiskusi, tanya jawab, membaca buku dengan berbagai pose akibat kelelahan, ada yang sambil jalan, lalu duduk, kemudian berbaring diatas punggung, miring kekiri dan miring kekanan.
Khusus di malam hari sekali, listrik terang benderang namun lampu-lampu teplok dan lilin-lilin kecil gemerlapan disana seperti kunang-kunang berpesta ria.
Dalam masa-masa ujian semua santri jalannya cepat-cepat, makannya juga cepat, apalagi yang tidak suka mandi inilah alasan paling mantap untuk prey mandi, bahkan ada yang berargumen, “Buaya setiap saat mandi tetap saja jelek.” Kalau enggak percaya tanya saja Yudi Latif atau Amiq Ahyad atau Ahmad Najib juga el-more. Mereka lebih tahu trik-trik model begini.
Bulan-bulan persiapan ujian membuat makan seperti tidak ada rasanya, masalahnya kita makan sambil baca buku.
Kalau ngantri biasanya kita tidak sabaran, maka saat ini kita mendadak pemurah hati dengan menyedekahkan hak antri kita pada yang lain, tapi bahayanya kalau sudah masuk, dengan alasan demi ibadah dan darurat maka mereka bilang, “boleh-boleh saja bawa buku ke dalam WC”.
Apalagi kalau besok ujian hafalan seperti mahfuzot macam man jadda wajada, man sobaro zofiro, man taanna naala maa tamanna (ada sekitar 92 mahfudot berawalan “man”).
Sering terjadi saling memahami sehingga yang sudah di dalam kamar mandi lama sekali sedangkan yang antri diluar senang menunggu lama-lama sambil ngafal… akhirnya… inilah yang menjadi langganan empuk Mr Tyson (Bagian Keamanan) seperti terlukis dalam film Negeri Lima Menara itu.
Saya ulangi, hari itu 30 April 1985, ada gerimis sore yang aneh diluar musim hujan, mobil Kijang Sienna butut kebanggaan Kyai Zarkasyi memasuki gerbang Gontor dengan hati-hati sekali, beberapa mobil mengiring dibelakangnya.
Iring-iringan itu langsung ke halaman rumah Kyai Imam Zarkasyi. Selanjutnya terlihat keluarga Tri Murti masuk rumah dan lalu suasa kembali riuh oleh anak-anak yang menghafal dimana mana.
Untuk diketahui bahwa kalau Anda mau jadi raja di Darussalam Gontor maka membacalah, yakin tak seorang pun akan mengusik Anda kecuali waktu menunggu shalat setelah azan. Saat itu memang hak Tuhan untuk kita mempersembahkan munajat dan doa-doa.
Keesokan harinya Rabu, 1 Mei 1985, seperti hari-hari sebelumnya saya menjadi pengawas ujian tulis santri kelas dua, bertempat di Komplek Solihin kamar 8. Tepat jam 12.00 Al-Ustadz Hisyam Asikin datang pelan-pelan sekali dengan naik sepeda ontelnya lalu dia berbisik, “Ustaz Hasanain… tolong santri-santri dikasi tahu satu persatu ketika keluar dari ruang ujian” suaranya tercekat. “Ada apa Ustaz?” Tanya saya.
“Tolong jangan diumumkan tapi kasi tahu satu-satu ya?” Saya sendiri bingung dengan sekretaris pribadi Kyai Zarkasyi ini, kok tumben-tumbennya bicara kayak orang linglung? Saya tarik tangannya keluar ruangan lalu di beranda komsol 8 itu saya minta ketegasan, “Apa isi pemberi tahuannya?”
Pyaaaaar. Pandangan saya berkunang-kunang setelah melihat air mata Ustaz Hisyam menitik. Beberapa saat kami saling memandang, clip-clip rekaman selama di Gontor berputar cepat sekali.
Saya mulai agak blank. Kemudian saya lambaikan tangan menyuruh dia pergi. Saya sudah tahu yang akan dia katakan. Pokoknya saya sangat perlu menarik oksigen kehalaman kelas.
Ya… ya… beberapa hari lalu Pak Kyai Imam Zarkasyi dibawa kerumah sakit Madiun.
Seperti menyesali diri saya yang salah menerka kejadian ketika iring-iringan mobil kemarin itu memasuki gerbang Pondok. Saya memang melihat ambulan, tapi karena sirine tidak dibunyikan maka bagi saya itu sudah biasa, sebab ada keluarga Pak Kyai yang jadi bidan dan jadi dokter.
Saya ambil kesimpulan bahwa saya harus melakukan apa yang disukai Kyai Zarkasyi untuk dilakukan. Saya yakin beliau tidak ridho kalau suasana belajar terganggu sekalipun itu tentang berita wafatnya beliau.
Innalillahi Wainna ilaihi rooji’un. Ternyata semua keluarga Tri Murti dan guru-guru membuat kesimpulan yang sama, memberi tahu santri dengan diam-diam, satu persatu.
Singkat saja pengumannya atau tepatnya bisikan, bahwa selesai ujian para santri diminta langsung makan siang lalu sholat zuhur dimasjid langsung shalat janazah.
Pemakaman Kyai Imam Zarkasyi hari itu berjalan khidmat, tidak ada rame-rame. Waktu shalat ashar pun berjalan seperti biasa lalu para santri kembali tenggelam kedalam suasana ujian.
Saat-saat menunggu hasil ujian justru lebih mencekam lagi sehingga apapun nyaris bisa dilupakan para santri. Sementara kami para guru akan merasa bersalah kalau mengganggu suasana itu.
Mengganggu suasa belajar adalah perbuaan paling dibenci Kyai Imam Zarkasyi. Saya tidak tahu apakah beliau berwasiat kepada keluarga beliau agar tidak mengganggu konsentrasi santri yang belajar atau bagaimana saya benar-benar tidak tahu.
Tanggal 9 Mei 1985 Pengumuman untuk acara bersalaman akhir tahun. seperti biasa dilaksanakan di Qoah atau balai pertemuan utama yang dikenal dengan sebutan BPPM itu. Mula-mula yang masuk adalah keluarga Tri Murti, lalu guru-guru senior disusul kami, guru-guru muda. Inilah suasana yang saya yakin tak seorangpun tidak mengenangnya.
Begitu kami masuk, ruang BPPM itu sangat sunyi, semua yang ada di dalam melakukan segala cara untuk tidak menangis. Apa yang saya rasakan saat itu adalah dada yang hampa, langkah kaki seperti tak terasa.
Kaki mengayun begitu saja, pandangan ditolah-tolehkan ke segala arah, mencari kalau ada wajah yang tidak berurai air mata. Manusia besi seperti Kyai Syukri Zarkasyi, atau motivator ulung Kyai H. Imam Badri sampai Kyai H. Mahmud yang saban hari berteriak bak petir mengarahkan tukang-tukang bangunan yang nakal, saat itu luluh dan lunglai.
Bagaimana dengan Kyai seniman Kiyai Hasan Abdullah Sahal dan Kyai H. Shoiman Lukmanul Hakim, begitu juga Kyai Ibrahim Thayyib yang lucu luar biasa atau Kyai Lembut Kyai Maksum Yusuf. Subhanallah tidak dapat saya lukiskan kecuali dengan kalimat “Sepanjang tidak meraung-raung dan merobek-robek baju” yang dilarang Rasulullah ﷺ.
Beberapa santri ada yang pingsan. Saya tidak heran, banyak yang semenjak masuk ruangan hanya menyodorkan tangannya kedepan, kaki melangkah otomatis tapi kedua mata ditutup dengan telapak tangan kiri.
Apakah ibu-bapak Walisantri Gontor akan berkata kami-kami saat itu adalah kumpulan manusia-manusia cengeng?
Tunggu dulu. Coba Anda renungkan kami yang setiap akhir tahun bersalaman dengan sentral figur yang sangat mencintai kami, kyai kami, guru kami, ayah dan ibu kami “Kyai Haji Imam Zarkasyi” yang telah mengutamakan kami, berkorban apapun untuk kami (Kami sering melihat Kyai Syukri, Kyai Hasan dan yang lain-lain dibentak bentak hanya karena dinilai salah oleh beliau dalam mengurus kami).
Hakikatnya di Gontor itu bukan Kyai sebagai puncak segala gerak gerik tapi santri.
Bagaimana ibu-bapak wali santri membayang sebuah kursi tinggi khusus yang saban tahun diduduki KH Imam Zarkasyi ketika bersalaman dengan kami, dimana beliau nyaris menghafal nama-nama kami, lalu bertanya,
“Bagaimana ujiannya naaaaaaak?”
“Apakah adik kakak dirumah dan orang tua sudah diminta berdo’aaaaaaaa?”
“Tolong ya? Salam kami untuk semua keluarga di rumah, jaga nama baik pondok dengan al akhlaq al karimah.”
“Bantu bapak dan ibu kekerja…” dst.
Nah, karena itulah salaman akhir tahun di Gontor bisa berkepanjangan sampai harus diselingi dengan makan siang, shalat zuhur dan Ashar.
Ini dia… Hari itu Kamis, tanggal 9 Mei 1985 kursi khusus milik Pak Zar tetap diletakkan di tempat beliau biasa berposisi, namun kali ini orangnya tidak ada, kosong, dan kami tidak bisa menghindarinya untuk tidak melalui dan melihatnya.
Ayah dalam hening sepi kurindu.
Moohon cerita-cerita tentang KH. Imam Zarkasyi lebih sering diungkit, karena kami, generasi kemudian tidak dapat bertemu langsung beliau, dan hanya mengenal beliau dari karya tulisnya.