Blog Openulis

Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.

Perbedaan Boarding School dan Pesantren

Perbedaan Boarding School dan Pesantren di Zaman Modern

Mereka perlu tahu

Sepanjang sejarah pendidikan di Indonesia kita mengenal banyak model sekolah, di antaranya pondok pesantren dan boarding school.

Sama-sama menggunakan sistem asrama, kerap menimbulkan tanya para orang tua, “apa perbedaan boarding school dan pesantren?”

Btw, buat apa juga tahu beda keduanya? Toh sama-sama nginep di asrama.

Agar tidak salah memandang dan bersikap, itu jawaban ringkasnya.

A. Filsafat Pondok Pesantren

Menurut sejarah, pesantren bermula dari kemasyhuran seorang ulama kiyai. Karena sering dakwah di mana-mana, ngajak orang ke jalan Allah, berperadaban, hingga banyak yang merasa dimanusiakan.

Akhirnya, tidak sedikit orang yang ikut minta diajarkan secara intensif. Jadi, kiyai yang didatangi dan diminta, bukan ujug-ujug buka ponpes.

Fenomena ini sebenarnya jamak terjadi sejak zaman Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam, yang dikenal dengan institut Sufah.

Para sahabat yang rumahnya jauh, biasa datang dan menginap di masjid Nabawi untuk beberapa waktu.

Dari sana lahir banyak pendidik dan pengkader ulama seperti Abu Hurairah.

Di zaman ulama salaf pun demikian, Imam Syafi’i meninggalkan sang bunda untuk menimba ilmu. Imam al-Bukhari juga gak jauh beda, pergi jauh untuk mendalami ilmu.

Tradisi ini terus lestari hingga zaman kita di nusantara.

Sampai kemudian rumah Kyai tak lagi cukup menampung santri yang semakin banyak, maka dari sana lah muncul inisiatif mendirikan gubug tempat menginap.

Nah, tempat nginep itu dalam bahasa Arab dikenal dengan “funduq”. Lalu di lisan orang kita lama-lama jadi “pondok”. Sekarang lebih dikenal dengan asrama atau rayon.

Cek aja KBBI, definisinya pun masih “tempat menumpang”,.

Namanya juga numpang, artinya sementara, bukan milik kita, cuma mampir bagai tamu.

Tholib, santri, pelajar datang memang untuk meminta ilmu, karenanya filsafat pondok berlaku, “sami’na wa atho’na” (kami dengar dan patuh).

Maka tidak layak bagi siswa protes, minta fasilitas ini dan itu.

Very good, very fine

Gak mau ikut, cari yang lain

1) Sejarah Nama Pesantren

Adapun istilah “pesantren” diambil dari julukan para penghuni pondok kala itu, yakni santri. Alih-alih menggunakan “pesantrian”, masyarakat memilih kata “pesantren”.

Santri sendiri berasal dari kata shastri atau cantrik dalam bahasa Sanskerta yang bermakna “orang yang mengikuti guru”.

Loh, ini kan lembaga pendidikan Islam, kenapa pake istilah dari Sanskrit?

Itulah hebatnya ulama Islam. Fokus awalnya memang mengajarkan ilmu dasar Islam.

Silih berganti pelajar datang dan pergi. Yang utama diajarkan adalah tauhid, syariat, kemanusiaan, fiqih praktis; barulah bahasa Arab dengan segala alatnya.

Jadi, gak ada waktu bikin nama sekolah. Tidak heran jika nama pesantren kadang dikaitkan dengan nama kiyai atau alamatnya.

Bisa dibayangkan kalau awal-awal langsung buka “Madrasah Nurul Jihad”, saat itu orang masih awam, gak tahu apa itu madrasah, apa itu kuttab, dan apa pula nurul jihad.

Esensi Islam itu manusia menyembah Allah, serta menjadi baik beradab. Bahasa Arab, bukan tujuan utama, makanya gak langsung diajarkan.

Fakta ini jadi bukti bahwa Islam compatible untuk segala tempat dan budaya.

Kalaupun sekarang bangun pondok langsung ada nama, tidak lain hanya untuk membedakan satu sama lain. Udah aturan pemerintah, harus punya nama lembaga.

B. Boarding School

Seperti namanya, boarding school artinya sekolah berasrama pun berasal dari Inggris. Di negara monarki tersebut, hampir seluruh boarding school tergolong private school yang sifatnya tertutup.

Mereka independen dalam hal pembiayaan. Makanya jangan heran kalau sekolah itu hanya dihuni oleh anak-anak orang kaya.

Di Indonesia sendiri umumnya boarding school dibangun atas inisiatif organisasi, kelompok atau perseorangan yang memiliki dana tapi tidak mendalam ilmu materi ajarnya, lalu menyerahkan kepemimpinan kepada orang yang kompeten.

Setelah jadi bangunan dan prasarana, baru kemudian mencari murid dan membuka pendaftaran.

Tidak sedikit yang memasang advertensi, brosur, spanduk untuk sosialisasi sekolahnya.

Apakah ini salah?

Tentu saja tidak. Saya percaya banyak orang mendirikan lembaga pendidikan karena rasa keterpanggilan.

Hanya saja, jika fasilitas jadi iming-iming menyekolahkan anak, jangan heran kalau banyak orang tua menuntut kenyamanan.

Setidaknya itu yang kadang kita jumpai.

Siswa ditugaskan nyapu, walinya gak terima, padahal putranya sedang dididik, “saya udah bayar mahal buat belajar, kenapa anak saya disuruh bersih-bersih!”.

C. Perbedaan Boarding School dan Pesantren

Di negara asalnya, meski dianggap melahirkan tokoh terkenal, boarding school mengalami banyak kritikan karena dipandang elit dan mahal hingga melahirkan pemimpin yang jauh dari aspirasi rakyatnya.

Bagaimana mungkin?

Anak orang kaya, hidup di lingkungan mewah, tak pernah kelaparan, sedikit-banyak dilayani, masuk sekolah mahal, berteman dengan sesama anak ‘sultan’, lulus sekolah tiba-tiba nyalon pejabat.

Itu boarding school di luar negeri loh ya. Indonesia punya – in sya Allah – lebih baik.

Sementara itu di Indonesia, ponpes justru berperan besar dalam kemeredekaan, wadah pemersatu perjuangan dan pergerakan jihad anti penjajahan.

1) Struktur Birokrasi

Sebagaimana telah dipahami, pondok pesantren dirintis seorang kyai dari nol. Mulai ngajar anak-anak ngaji, bujuk orang jadi baik, gratis walau tanpa gedung & fasilitas.

Hingga ramai orang dari jauh, bikin pondokan, koordinir suplai pangan dan kebutuhan pokok, sampai jadi besar.

Karenanya, tidak heran jika semua kebijakan berpusat pada sosok kiyai. Kelebihan pola macam ini, proses pengambilan keputusan cenderung cepat.

Bedanya dengan boarding school, keputusan apapun harus melewati musyawarah secara kolektif antara pendiri atau pengurus organisasi utama.

Kadang kepala sekolah tidak berada dipuncak kepemimpian, di atasnya ada yayasan.

Meski terkesan ribet, karena harus melewati jalur birokrasi, namun dalam hal ini bording school cenderung demokratis.

2) Kepemimpinan

Karena kiyai merupakan sentral figur di pondok, sosoknya adalah yang paling berwibawa, bahkan selainnya seperti ustadz, dan mudabbir terkesan hanya dipinjami wibawa.

Namun, kelemahan dari kepemimpinan tanpa dualisme ini adalah; Saat sang kiyai wafat, pondok akan ikut redup. Peristiwa ini dapat dicegah dengan adanya kaderisasi yang baik.

Masinis boleh ganti, tapi rel tidak boleh bergeser.

Beda lagi dengan bording school, siapapun yang memimpin, tidak mutlak bisa menerapkan kebijakan. Ada aturan dan kontrak yang mengatur.

Inilah beberapa perbedaan boarding school dan pesantren, serupa tapi tak sama. Keduanya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.

D. Kritik & Saran

Setelah sekilas membaca, sedikit kita dapat memahami pengertian boarding school dan apa artinya pondok pesantren.

Ini hanya gambaran umum, mohon juga merujuk web institusi yang diminati. Kadang ada ponpes tapi sistemnya sebagaimana boarding school di atas, atau sebaliknya.

Bapak-ibu bisa mencari testimoni pondok atau sekolah yang dituju. Lembaga manapun -in sya Allah- bagus, tinggal kita tawakkal.

Di zaman keterbukaan ini pun bisa jadi label macam ini hanya sekadar nama.

Mohon kritik dan saran jika dijumpai kekurangan.

Bagi para pendidik, kami juga membuka guest post seputar pendidikan dan pelajaran terutama soal fakta serta pengalaman unik lembaganya.

E. Kesimpulan: Beda Ponpes dan Boarding School

Pondok PesantrenBoarding School
Kiyai sebagai founder dan pimpinan memiliki track record keilmuan Islam yang baikBisa didirikan oleh siapa saja
Pimpinan aktif mendidik dan tinggal di pondok bersama para santriPimpinan bisa tinggal di luar
Pola asuh 24 jam, tinggal di pesantrenHanya sebagian waktu
Punya perhatian terhadap keilmuan IslamTidak, atau parsial
Menjaga nilai normatif IslamTidak
Pesantren dan Boarding itu tak sama

Pesantren pasti melaksanakan sistem pembelajaran sesuai dengan sistem normatif Islami. Sistem normatif dalam islam itu sangat ketat dan tegas. Contoh, interaksi antar lawan jenis. Menjaga jarak dalam komunikasi, cara bicara, tempat, serta jumlah audience menjadi pertimbangan.

Mereka perlu tahu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *