Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Walaupun manusia adalah makhluk sosial (tidak bisa hidup tanpa orang lain), tapi mereka tidak bisa bersahabat dengan perbedaan yang pada akhirnya menyebabkan fitnah dan konflik.
الإنسان مدني بالطبع
Terkadang, kita sering tergoda untuk lebay. Semestinya perbedaan itu hanya dijadikan batu kerikil pada rel kereta yang mengokohkan laju lokomotif. Bukan dianggap sebagai gunung terjal yang justru sulit dilalui.
Biasanya, masalah ini terjadi dalam hiruk-pikuk rumah tangga antara suami dan istri. Terjadi pula antar anggota sebuah organisasi maupun panitia. Misalnya, memperbesar masalah ketika akan berangkat bekerja.
Tidak ada sabun di kamar mandi, pakaian yang akan dikenakan belum disetrika. Lalu muncul pertanyaan-pertanyaan yang amat sangat remah, kecil, tapi kemudian dibesar-besarkan, dipanjanglebarkan. “Kenapa tidak ada sabun?, Kok bisa-bisanya lupa, hari ini aku kerja? Sudah tahu suami akan ketemu klien, tapi pakaian belum disetrika!” Begitulah.
Mari kita kembali pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, yang mulia lagi tidak pernah membesar-besarkan masalah remeh. Misalnya, ketika beliau hendak sarapan. Beliau menanyakan pada istrinya, Ibunda Aisyah, Apakah ada makanan yang bisa disantap. Ketika dijawab hari itu tidak ada makanan. Dengan ringan, Nabi Muhammad ﷺ, manusia lembut dan beraklak agung itu berkata “Kalau begitu, hari ini aku puasa.” (Muslim: 1154)
“هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ” فَقُلْنَا: لَا، قَالَ: “فَإِنِّي إِذَنْ صَائِمٌ”
Alangkah indah hidup seperti itu. Siapa yang tidak rindu dan tak ingin menjadikan perilaku beliau sebagai pedoman dan panutan? Tidak malukah kita, terjebak dalam nafsu membesar-besarkan masalah?
Satu hari, Rasulullah pernah bertamu ke rumah salah seorang keluarganya, menyanyakan “Apakah engkau mempunyai makanan yang dapat dimakan?”
Dijawab “Saya tidak memiliki makanan kecuali serpihan roti kering.”
“Ayo bawa kemari,” kata Rasul ﷺ bersemangat, seolah-olah itu adalah hidangan yang mewah. Kemudian Ummu Hanik membawa serpihan roti tersebut, kemudian berkata “Apakah ada lauk?” Merekang mengatakan, bahwa tidak ada lauk, hanya ada cuka saja.
“Alhamdulillah, cuka adalah lauk terbaik,” lalu Rasulullah melanjutkan makannya, seolah-olah menghadapi hidangan istimewa. Beliau membaca hamdalah, menunjukkan rasa syukur yang hebat. Membesarkan hati sang tuan rumah. Bersyukur atas segala nikmat dan karunia, semuanya terasa penuh berkah. Kisah ini terdapat dalam riwayat Imam Muslim, Abu Daud, al-Darimi, dan Imam Ahmad.
Tutupilah kekurangan dan cela, karena memang kekurangan dan kesalahan tak habisnya dan selalu muncul serta berulang. Sebab, manusia adalah tempatnya salah dan kurang. Jangan suka mencari-cari kesalahan, karena memang, kesalahan akan ditemukan jika dicari, dan dia pasti akan datang, bahkan tanpa diundang.
Mengutip perkataan K.H Hasan A Sahal,
Kita boleh membaca raport orang, tetapi jangan membacakannya dihadapan orang.
Ketika menghadapi masalah, pastikan itu adalah masalah besar sungguhan, bukan masalah kecil hasil dari dibesar-besarkan. Seperti contoh di atas, terkadang masalah cekcok pasutri hanya disebabkan hal-hal sepele.
Dengan memahami ini, separuh masalah akan teratasi dengan sendirinya. Kita pun akan fokus menghadapi masalah sebenarnya yang akan melatih kita lebih kuat dan dewasa.
Ridho pada yang kecil, dan syukur atas yang besar. Tutupi kesalahan, lengkapi kekurangan. Sebab, tidak ada manusia yang sempurna, dan jika itu membuat kita tersiksa, ada yang salah dengan sikap kita.
Semoga Allah mengganti dengan segala kebaikan, atas kesabaran dan qonaah yang telah kita lakukan pada semua kekurangan kecil yang tak penting. Mulailah mendewasakan diri, jangan membesar-besarkan masalah.
Sumber:
- Nurdi. Herry. 2013. Muhammad Al Musthafa. Jakarta: Cakrawala Publishing
- al-Ahadits as-Syarif