Blog Openulis

Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.

Novel Remaja Ungkapan Dalam Qalbu

Novel: UDQ #15 Gadisnya Erka

Mereka perlu tahu

Erka sampai harus pinjam motor kak Yogi cuma karena Raia gak mau pergi kalau naik angkutan umum.” Aku mengadukan sikap Raia pada Arly di depan kelasnya. “Aku kasihan sama Erka kalau harus sampai kaya gitu.”

Arly terlihat menghela nafas dan mencoba berpikir. Ia mundar mandir di hadapanku, entah apa yang dipikirkannya.

“Ar, bukan maksud ak….”

“Aku ngerti Ram, sabenarnya aku juga gak maksud buat Erka kerepotan begitu. Aku pikir Raia mau nerima Erka apa adanya. Tapi…”

“Tapi Raia bukan kamu yang bisa nerima orang lain dengan apa adanya.”

“Oke, untuk saat ini kita lihat aja dulu perkembangan hubungan mereka.” Arly duduk di sebelahku. “Aku gak maksain kalau mereka emang gak bisa…”

“Ar…” aku menahan perkataan Arly. “jangan sampai Erka tahu kita bahas ini. Gak enak, takut dia kesinggung.” Pesanku begitu melihat Erka berjalan ke arah kami.

Erka mendatangi kami, wajahnya sangat berseri. Matanya, aku melihat Arly di matanya. Seakan merasa janggal di antara mereka. Aku teringat perkataan Kinari, mengenai dugaan bahwa Arly menyukai Erka. Kinari adalah sahabat Arly, apa ini yang Kinari rasakan? Entah dari mana, sebagai sahabat aku juga merasa kalau sebenarnya Erka menyukai Arly. Semoga ini hanya dugaan ku saja.


Ujian sekolah aku jalani dengan baik tanpa mengigat masalah hati. Tapi setelah ujian selesai aku merasakannya lagi. Akhir semester genap hatiku mulai tercabik dengan sejuta rasa sakit. Mungkin salah satunya karena hubungan Erka dan Raia yang semakin dekat namun tak jelas akan kemana membuat aku mengharapkan peluang cinta untukku dengan Erka, mungkinkah itu? Masalahnya Erka tidak memiliki perasaan yang sama sepertiku dan aku masih terikat sebuah hubungan dengan kak Dhani.

Hanya memasukkan bola basket ke ring yang aku bisa untuk melampiaskan kekesalan. Untungnya lapangan sepi, lagi pula siapa yang mau bermain basket sendirian di malam hari – kecuali aku.

“Mana seru main sendirian.”

Erka di sini? Ia mengambil bola yang baru saja menyemplung dari lubang ring. Jangan-jangan ini hanya khayalanku saja. Semuanya begitu nyata, bahkan ia mempassing bola kearahku dan bisa aku tangkap. Lalu untuk apa dia di sini?

“Tadi aku ke rumah kamu tapi kata ibu, kamu pergi keluar bawa bola basket.”

“Emang ada apa Ka?” aku menshut bola lagi ke ring, tapi sayangnya bola itu hanya berotasi mengelilingi ring tanpa lolos kedalamnya.

“Soal Raia.” Erka menangkap bola dan memasukkan bola ke ring dengan indah. “Aku rasa aku gak cocok sama dia.” Kali ini Erka mendrible bolanya.

“Ya, terserah sih Ka. Toh yang ngejalanin kamu.” Aku merebut bola dari tangan Erka. Kabar baik ini membuatku semangat.

Kami berdua bertanding basket yang tentu saja sulit bagiku untuk mengalahkan cowok bertinggi badan 175cm ini. Aku sangat menikmati pertandingan ini. Sering aku sadari perasaan ini sangat tidak profesioanal, karena Erka adalah sahabat bukan kekasih. Seharusnya aku bisa memposisikan perasaanku dengan tepat.

“Ar, apa kamu gak mau nerima perasaannya Rama?” tanya Erka tiba-tiba, padahal baru saja aku membayangkan mengenai kesempatanku yang mulai terbuka. Tapi sepertinya dia memang tidak punya perasaan apa-apa padaku. “Aku tahu kamu masih terikat sama Kak Dhani, tapi kita juga tahu kok kalau hubungan kalian…”

“Erka,” aku memotong ucapannya. “perasaan gak bisa dipaksa kan? Makanya aku ngerti kalau kamu gak bisa sama Raia. Jadi aku mohon Ka, jangan bahas ini lagi.” Pintaku sambil meninggalkannya.

Oh malam, kenapa terasa begitu terik membuat hatiku perih hingga tak sanggup menahan air mata. Aku cukup pandai untuk menyumbunyikan perasaanku sampai Erka bernar-benar tidak tahu aku menyukainya dan mungkin ini bukan sekedar suka tapi cinta. Aku tahu mungkin aku belum cukup pantas untuk membahas tentang cinta, tapi rasanya ini bukan sekedar perasaan yang biasa.


Dua pekan berlalu, masa liburan semesterku selesai. Senangnya aku bisa kembali ke sekolah. Sedikit sedih juga karena tak sekelas dengan Erka, Bumi, maupun Seshi tapi sekolahku harus tetap berjalan walau tak sekelas dengan mereka. Tak sekelas bukan berati tak bersahabat lagi kan. Toh kami masih bisa berkumpul saat istirahat, belajar bersama ataupun sekedar bermain.

“Ar,” Erka mendatangi kelasku. Menghampiri aku yang semula sedang duduk tenang membaca buku pelajaran. “malam itu kam…”

“Erka, aku rasa kita gak perlu bahas itu lagi…”

“Tapi malam itu kamu pergi ninggalin aku dan bola basket kamu gitu aja, jadi bola kamu ada sama aku. Tadinya aku mau langsung balikin bola itu, tapi kayaknya suasana lagi buruk jadi aku takut ganggu kamu.”

Oo, penjelasan beruntun Erka itu membuatku tercenung. “Oh, ya nanti kalau kita main bareng kamu bawa ya.” Pintaku merasa tak enak hati.

“Yapz. Aku sekarang udah gak sekelas sama kamu. Jadi kita harus berpisah, daghh.”

Erka pamit untuk meninggalkan kelasku. Beberapa temanku mendekat dan duduk mengerubuti ku seperti lalat yang berkumpul di ikan segar.

“Ar, Erka suka sama cewek di kelas ini. Kamu tahu gak siapa?” Tanya Bella penasaran.

“Oya? Aku aja baru tahu dari kamu kalau Erka suka sama cewek di sini.” Jawabku spontan

“Coba aku ya cewek yang dia suka, pasti aku bakal beruntung banget.” Ujar Vira berandai.

“Jangan-jangan kamu yang dia suka Ar.” Tebak Liona.

“Gak mungkin Arly, cewek kayak Raia aja di tolak.” Cetus Nadia.

“Iya, lagian Rama mau dikemanain, mereka kan sahabatan banget pasti Erka milih cewek lain.” Tambah Zoia.

“Hei…” aku menghentikan celotehan mereka. “kalian sadar gak sih, kalian itu bicarain aku di depan orangnya.” Aku mengingatkan.

“Dari pada bicarain kamu di belakang? Lagian kita kan bukan bicarain keburukan kamu.” Tanggap Liona.

“Tapi kamu beruntung banget lho Ar, Rama suka sama kamu.” Zoia menyambung perkataannya.

“Iya Ar.” Bella menyusul dan mereka melanjutkan wacana mereka di hadapanku.

Ini sekedar gosip kacangan atau mungkin benar kabar dari mereka. Siapa gadis beruntung itu? Jika benar, aku berharap akulah orangnya, tapi seperti kata mereka. Erka tak mungkin menyukaiku. gadis yang mendekati sempurna seperti Raia saja tak bisa meluluhkan hatinya, apalagi aku.


Untuk kesekian kalinya aku membaca novel pemberian Nai. Sebuah novel sederhana tentang persahabat dua laki-laki yang mencinta seorang gadis yang berakhir dengan sad ending karena akhirnya si gadis dan seorang sahabatnya meninggal dalam sebuah kecelakaan. Aku suka sad ending karena aku belum tahu seperti apa happy ending itu.

Mama memanggilku karena ada teman yang datang. Bukan Nai tentunya, tapi aku segera mendatangi tamuku. Erka duduk santai di teras rumah sambil memutar-mutar bola basket di ujung jarinya. Aku duduk di sampingnya sambil menikmati pertunjukan dari Erka.

“Aku mau balikin bola.” Erka menghentikan permainannya dan menyerahkan bola itu padaku. “tadi sepulang sekolah aku nembak Kaila teman sekelas kamu.”

Apa yang barusan Erka sampaikan itu? Apa ia sedang mematahkan hatiku? Aku terkejut bukan main hingga tak mampu berkata.

“Tapi aku ditolak.” Ujar Erka penuh senyum seakan tak merasa kecewa. “Kok kamu diam aja sih Ar? Gak mau komen apa gitu.” Tanyanya heran mendapati reaksiku.

“Aku harus bilang apa? Kamu gak pernah cerita sebelumnya. Kalau aku tahu, aku gak akan coba nyomblangin kamu sama Raia.”

“Kamu marah?”

Aku menggelengkan kepala. “Cuma kecewa.” Jawabku dan beranjak untuk meninggalkannya.

“Ar,” Erka memegang tanganku mungkin maksudnya agar aku tak meninggalkanya. Jujur, jantungku berdegup sangat cepat dan perasaanku tidak karuan. Perasaan Erka mungkin biasa saja, tapi aku tidak. Sepertinya aku sedang salah tingkah, kakiku seakan tertahan tak bisa melangkah. “Apa aku salah?”

“Salah!” tegasku. “Kenapa sih Ka, kamu gak nyoba ngerti perasaan aku?”

Tunggu, apa yang aku katakan barusan? Apa maksudnya? Kenapa aku bicara seperti itu? Seharusnya aku tidak bicara seperti itu.

“Nyoba ngertiin kamu? Kamu pikir buat apa selama ini aku mau ngedeketin Raia? Aku selalu nyoba ngertiin kamu, tapi apa? Kamu sendiri yang gak mau ngerti.” Seru Erka di telingaku.

Genggaman Erka melonggar. Aku melangkah hingga genggaman itu lepas dan pergi meninggalkanya. Air mataku mulai mengambang tapi aku segera menyekanya. Aku buru-buru ke kamar karena sungguh tak mampu menyembunyikan air mataku.


Raia menatap langit senja dengan hikmat di terasku. Aku mendampinginya meski pikiranku terus saja terusik oleh Erka. Benar katanya, bahwa aku yang tak mau mengerti. Sekarang aku merasa kalau aku tak punya otak.

“Kalau aja waktu itu aku mau dengar perkataan kamu, mungkin aku gak akan menyesal sekarang.” Raia seakan penuh penyesalan.

Aku mengerti, perlahan gadis ini berubah menjadi lebih baik. Diakui atau tidak, Erka ambil bagian untuk hal ini.

“Peringatan itu di awal, karena penyesalan memang selalu datang belakangan. Tapi kalau kamu terus membiarkan diri tenggelam dalam penyesalan, maka kamu gak akan bisa menikmati senja ini.”

Raia menatapku matanya berkaca-kaca. Aku bisa merasakan kepedihannya, tapi pedih itu hanya akan untuk sementara. Aku menghela nafas dan mencoba menahan air mataku. Raia memalingkan wajahnya dan menatap langit kembali. Entah berapa lama kami menikmati senja sore ini, di benakku sebuah pertanyaan muncul. Cakrawala adakah kau berujung?

“Kak Dhani?” heran Raia tertuju pada seorang laki-laki yang berdiri di depan rumahku.


Daftar Isi Novel Ungkapan Dalam Hati

Silakan mampir:

Mereka perlu tahu
Asih Sora
Asih Sora

Kenangan adalah makna dalam setiap kisah.

Articles: 42

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *