Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Latihan
Aku berhadapan dengan Nai di tengah teman-teman yang membentuk lingkaran. Mata kami saling menatap tajam seakan siap untuk saling menerkam. Pelatih yang bertindak sebagai wasit bersiap memberi aba-aba untuk memulai pertandingan antara aku dan Nai.
“Zih!!!” aba-aba pertandingan dimulai.
Aku dan Nai mulai melakukan gerak Kembangan. Nai mendekat bersiap menghatamku. Tanpa buang waktu aku mengarahkan pukulan ke dadanya. Nai terpancing, ia segera menangkis pukulanku. Dan dengan cepat aku menendang bagian perutnya. Tendanganku membuat Nai mundur satu langkah. Dengan menggebu-gebu Nai langsung menendang ke arah perutku tapi aku berhasil menarik kakinya dan dengan anggun kaki Nai bergerak split. Segera wasit memberi aba-aba agar kami saling menjauh.
“Pasang!” Perintah dari sang wasit agar kami bersiap. “Zih!”
Kami berputar dan mendekat. Kali ini aku yang menyerang terlebih dahulu dengan menendang kearah perut Nai dan langsung di tanggkisnya. Benar-benar sigap Nai memukul kearah dadaku, namun berhasil aku tepis dan menarik tangannya, tak mau kehilangan kesempatan, aku segera membanting tubuh Nai.
Sepuluh menit kira-kira aku dan Nai baku hantam dengan profesional. Seperti biasa, keberuntungan masih berada di pihakku hingga Nai belum mampu mengalahkanku. Ini barulah latihan, belum pertandingan di arena yang sesungguhnya. Tak sabar untuk lusa, waktu aku dan yang lain turun untuk membela nama sekolah di arena pertandingan,
“Ingat, jangan sampai kamu kalah!” pesan Nai lagi seusai kami latihan bertandingan.
Gedung olahraga yang digunakan untuk pertandingan mulai di padati para peserta pertandingan dan pendukungnya. Aku, Nai dan teman-teman yang lain dari sekolah kami sudah berada di tempat sejak satu jam lalu. Waktunya aku untuk melakukan pemanasan karena tiga puluh menit lagi pertandinganku.
Di dalam gedung sangat padat, sulit bagiku pemanasan sebelum bertanding. Maka aku keluar gedung untuk sekedar merenggangkan otot-otot agar tidak tegang. Aku mulai berlari-lari kecil di pinggir lapangan. Dari jauh telihat Seshi, Rama, Erka dan Bumi bersama pastinya untuk mendukung kami. Bermaksud menghampiri mereka tapi tiba-tiba ada yang menyerangku dari belakang, aku limbung dan semua gelap.
“Ar…. Arly.” Aku mendengar suara mereka yang memanggilku. Mataku perlahan terbuka, samar-samar aku melihat wajah ‘Bang Yusuf’ pelatihku. Perlahan penglihatanku mulai jelas. Aku sadar bahwa aku tengah dikerubungi teman-temanku. Wajah Nai yang cemas mulai menimbulkan senyum dan langsung memeluk erat.
Lama dalam pelukan Nai, aku terpikir – bukankah seharusnya aku di arena pertandingan? Sedikit aku merasa sakit di bagian punngung, rasanya pundakku sangat pegal dan berat. Sejenak aku mengigat-ingat apa yang terjadi dan semua terbayang. Ada yang memukulku dari belakang sampai tak sadarkan diri dan mungkin itu penyebab aku berbaring di ruangan yang aku tak tahu ruangan apa.
“Bang, pertandinganku?” Tanyaku pada pelatihku. Nai melepas pelukannya.
“Ekhem.” Bang Yusuf berdehem seakan memberi isyarat agar yang lain pergi keluar ruangan. Aku bangun, duduk dengan bersandar pada sebuah bantal. Punggungku terasa benar-benar nyeri. “Arly, kamu tahu? Kehebatan kita bukan ditentukan dari sebuah pertandingan.” Aku mengangguk dan mulai mengerti arah pembicaraan Bang Yusuf. “Saya tahu kamu memiliki jiwa yang besar. Jiwa seorang pendekar. Bukan pendekar biasa, tapi lebih. Bagi saya, kamu tetap pemenang.” Kata bijak dari sang pelatih seakan menguatkanku. Seperti apakah jiwa pendekar itu?
Bang Yusuf menepuk pundakku mengantarkan ucapan ketabahan dari dalam qolbunya. Mungkin ia mengerti bahwa aku membutuhkan waktu untuk sendiri sehingga ia meninggalkanku sendiri di ruangan.
Punggungku nyeri, tapi lebih nyeri hatiku. Air yang mengambang di kantong mataku kini tumpah. Aku tak tahu harus bagaimana selain menangis. Hanya tinggal selangkah aku merasakannya. Tapi satu langkah itu lenyap entah kemana. Aku takkan menangis jika aku kalah dalam pertandingan, tapi ini aku kalah sebelum bertanding.
Kinari tengah menunggu di luar ruangan tempat Arly beristirahat. Aku tahu Arly sekarang sendiri di ruangan itu karena dia memang butuh waktu untuk sendiri, itu sebabnya Kinari tetap di luar tak mendampingi sahabatnya. Aku melangkah mendekati Kinari, ia melihat kedatanganku, matanya nanar seolah menahan pedih. Mungkin ia sangat empati terhadap Arly.
Dari luar jendela aku melihat Arly duduk termanggu dengan aliran air mata yang mengalir di pipinya. Ingin sekali aku hapus sungai keperihannya tapi bukan itu yang ia butuh. Aku melakukan hal yang sama dengan Kinari, hanya bisa menunggu Arly di luar.
“Aku gak tahan.” Ungkap Kinari. Aku lihat wajahnya, air matanya mulai turun.
“Hey, aku heran! Pendekar cantik seperti kalian menagis, apa gak ada yang ngelarang?” jemariku sejenak menyentuh pipi lembut Kinari, menyeka air matanya agar tidak deras. Kinari menggelengkan kepalanya. “Aku kira kalian itu gak cengeng!” tambahku meledek.
Kinari memukul dadaku pelan. Kemudian ia menyingkirkan air di wajahnya dan memberikan senyuman indah padaku. Kami duduk berdampingan di lantai dan bersandar pada dinding. Tak lama aku merasa pundakku sedikit berat. Rupanya kinari meletakkan kepalanya di pundakku.
“Ram, ini terakhir kalinya aku akan lihat Arly menangis.”
“Aku harap juga begitu, semoga ini terakhir kalinya aku lihat dia begitu.”
Aku kalah, tapi cukup bagiku. Bukan yang lain. Aku tak boleh kehilangan semangat hanya karena hal kecil seperti ini. Aku bisa terima kalau aku di diskualifikasi karena ketidak hadiranku di pertandingan. Tapi aku harus tetap hadir untuk mendukung pertandingan teman-temanku, terutama Nai.
“Kinari… Kinari… Kinari…” sorak sorai aku dan teman-teman yang lain menyemangati Nai yang tengah bertanding.
“Banting aja Nar…” Ujar Bumi yang menonton dengan sangat serius.
Nai berfokus pada lawan di hadapnya. Kadang aku merasa, jika sedang latihan bertanding, Nai sengaja mengalah untukku. Aku benar-benar melihat Nai yang sesunguhnya di pertandingan ini. Sangat lincah Nai menghindari serangan dari lawannya dan menyerang balik dengan benar-benar anggun. Ya, tubuhnya yang tetap tegap, nafasnya yang selalu teratur. Membuat ia sangat cantik dalam pertandingannya.
“Duuung.” Bunyi gong bergema tanda pertandingan selesai. Nai dan lawannya berdiri mendampingi wasit pertandingan. Para juri pendekar mengambil keputusan. Sejenak keadaan hening dan wasit mengangkat tangan Nai. Keadaan berubah menjadi riuh, penuh sorak kegembiraan dari pihak yang mendukung Nai. Ia memenangkan pertandingan kali ini.
“Kemenangan ini aku persembahkan untuk kamu.” Nai memelukku selepas meninggalkan arena pertandingan.
“Kamu masih harus bertanding di babak final untuk benar-benar menang Nai.” Aku mengigatkannya sambil memelukknya bangga.
“Aku pastiin aku akan menang!” janji Nai dengan melepas pekukannya.
Pertandingan
Kinari memasuki arena pertandingan kembali ke sudut biru untuk meraih kemenangannya di final. Kami yang mendukung Kinari mulai tegang, sebab itu kami riuh menyemangati jagoan kami. Kinari dan lawanya mulai melempar serangan lewat tatapan mata.
“Semangat Nai!” lantang Arly bersorak ketika Kinari maju meninggalkankan sudutnya.
Pertandingan di mulai. Belum satu menit, Kinari sudah mampu menjatuhkan lawannya dengan tendangan mutlak yang tak bisa dihindari. Suasana memanas, serangan balik ditujukan pada Kinari, namun kelincahnya Kinari segera memetahkan serangan tersebut. Saat pertandingan seleasai dan waktunya memberi keputusan. Tak perlu diragukan, para juri mengangkat bendera biru yang tak lain maksudnya adalah Kinari sebagai pemenangnya.
“Nai!” Arly berteriak dengan girang.
Kinari keluar arena dan langsung memeluk sahabatnya. Kami semua tahu, dan tak ada yang berani mengusik kebahagian mereka berdua.
“Selamat Nai, kamu menang!” Ucapku kegirangan ketika Nai memelukku erat. “Aku benar-benar senang!” aku tak mampu menampung kebahagiaanku.
“Inilah kemenang kita.” Bisiknya dengan nada yang tak kalah girang denganku.
“Nai….” aku merasa begitu terharu. “Sekarang saatnya kamu nerima piala.” Aku merenggangkan dekapanku. Aku merasa pelukan Nai mulai melonggar namun dagunya masih saja menyangkut di pundakku. “Naiii…” sebutku lagi setelah membiarkan Nai cukup lama memelukku.
“Kinari!” nada panik dari bang Yusuf.
“Nai?” aku angkat pundak Nai. Tubuh Nai lemas, bahkan matanya terpejam.
“Kinari… Kinari…!” semua memanggil-manggil gadis itu. Tak ada respon dari Nai. Ia tak sadarkan diri.
Bang Yusup langsung mengakat Nai.
Lebih dari satu jam pastinya kami telah menunggu di depan ruang Unit Gawat Darurat. Erka, Bumi, dan Seshi tak satupun dari mereka yang mau beranjak begitupun aku. Arly, Bang Yusuf, kami panik dan bingung dengan apa yang terjadi. Kami duduk berhadapan dengan orang tua Kinari, tapi tak satupun yang berani menanyakan tentang hal ini.
Beruasaha membaca kepiluan kedua orang tua Kinari, samar-samar aku coba menerka sesuatu. Tadi dokter Firman bersama beberapa dokter lainnya memasuki ruang UGD itu. Aku ingat dokter Firman adalah dokter pribadi Kinari dan juga dokter jantung di rumah sakit ini bukan? KINARI SAKIT JANTUNG?
“Dok,” ibu Kinari bangkit dan langsung menghampiri para dokter yang baru saja keluar dari ruang UGD. Para dokter berhamburan kecuali dokter muda itu yang tetap bersama kedua orang tua Kinari bica sedikit menjauh dari kami.
Arly bangkit mendekati pintu ruangan. Matanya berkaca-kaca dan penuh kecemasan. Tiba-tiba ibu Kinari jatuh di pelukan suaminya. Tangisan wanita itu pecah, Arly langsung berlari mendatangi ibu sahabatnya. Sekilas wajah Arly langsung berubah tegang setelah mendengar Ayah Kinari bicara.
“Ar, kenapa?”
Kami mendekati Arly tapi gadis itu hanya terdiam mematung.
“Kinari.” Seorang gadis cantik mengajukan tangannya padaku.
“Arly.” Aku menjabat tangan gadis yang memiliki nama indah itu.
“Tadinya aku kira, aku akan jadi satu-satunya siswi yang ikut ekskul ini. tapi kecemasanku sirna setelah lihat kamu di sini.” Ungkapnya girang.
“Maksud kamu, cuma kita berdua cewek yang ikut ekskul bela diri?”
“Kayaknya sih begitu.”
Itu adalah malam pertama aku menganal Nai, ketika kami baru kelas sepuluh dan memilih ekstra kulikuler yang sama.
“Tante kenapa?” tanyaku panik ketika mendapati Tante Nindi, ibu Nai menagis di pelukan Om Arif, ayah Nai. Tante Nindi memegang tangannku. Genggamannya terasa begitu dingin. “Om?” aku mimta penjelasan.
Om Arif telihat berusaha menegarrkan dirinya. “Kinari… pergi…”
Tannte Nindi histeris, genngamannya lepas, aku merasa dingin menyergap sekujur tubuhku. Apa yang barusan aku dengar itu? Apa maksudnya? Kenapa Ayah Nai bicara seperti itu? Bercanda kah beliau? Benarkah ini? KINARI PERGI.
Sangat terpukul, itulah yang aku rasakan. Mendengar Kinari telah meninggal dunia adalah sebuah kejutan. Dari dokter Firman aku ketahui bahwa Kinari terkena serangan jantung. Gadis sebaya denganku itu ternyata sudah empat tahun menderita penyakit jantung. Terjawab sudah keanehan yang membayangiku selama ini.
Kelasku, duka sangat terasa saat bangku di barisan depan itu kosong. Aku dan teman-teman sekelas kehilangan putri cerdas itu. Terlebih aku yang merasa tak punya saingan berat lagi. Beberapa kali aku sadar Arly mundar mandir melewati kelasku. Mungkin ia masih merasa Kinari masih ada. Tapi tak juga ia temui sahabatnya.
Erka menceritakan padaku bagaimana Arly menitihkan air matanya di kelas. Di pelukan Seshi, Arly menumpahkan kerinduannya pada Kinari. Meski ia tersenyum penuh padaku, dari matanya yang lebam semua tahu bahwa kemurungan masih menyelimutinya.
“Biasanya di sini, aku ngobrol sama Nai.” Ujar Arly saat mengunjungi kelasku.
“Mata kamu yang jeli itu keliatan gak bagus kalau ada kantung di bawahnya.” Tanggapku tersenyum simpul.
Selengkapnya: Novel Online Ungkapan Dalam Halbu