Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Hampir seperti pagi biasanya, aku mendampingi Bumi mengantarkan koran ke rumah-rumah pelanggan korannya. Pagi ini Bumi nampak lebih semangat, pasalnya semalam saat aku dan Erka tiba-tiba turun dari angkutan umum. Seshi yang menyadari aku dan Erka tidak ada jadi ketakutan dan disaat itulah Bumi berhasil menenangkannya. Bumi senang karena berhasil mengantar Seshi sampai rumah dan tanpa alasan jelas Bumi yakin bahwa persaannya tidak bertepuk sebelah tangan.
Sementara aku merasa kehilangan sebagian semangatku, entah kenapa. Belakangan pikiranku tersita karena Rama dan Erka. Sejujurnya aku belum siap dan mungkin tidak akan siap untuk kepergian Rama meski aku tahu itu hanya sementara. Di lain sisi otakku terus saja memikirkan Erka. Dia membuatku tak mengerti, sikapnya aneh. Kadang aku berpikir Erka menyukaiku, kadang tak yakin dia menyukaiku. Itu semua karena sikapnya yang tak menentu.
“Maaf jika aku membuatmu mencintaiku, segeralah lupakan rasa itu jika aku hanya akan menyakitimu.” Kata-katanya itu selalu terniang dan membuat aku galau.
“Ar,” panggil Bumi. “aku masih gak ngerti deh, kok bisa tiba-tiba ada Rama semalem?”
“Gak ngerti juga deh.” Aku menaik turunkan pundakku.
Bumi menghentikan laju sepedanya.
“Kenapa?” aku juga menghentikan sepedaku.
Bumi menatapku lamat-lamat. “Ar, ada yang kamu rahasiain?” tanyanya tiba-tiba.
Aku menggeleng yakin.
“Perasaan kamu?”
Deg, aku langsung merasa kepergok. “Apa harus aku jawab?”
Kali ini Bumi menggelengkan kepalanya. “Semuanya udah kejawab.”
“Kamu tahu?”
Bumi tak menjawabku malah langsung kabur dengan sepedanya. Aku buru-buru mengejarnya sambil melemparkan satu koran yang masih tersisa padaku ke rumah pelanggan. Sering aku berpikir kalau aku lebih cepat mengkayuh sepada di banding Bumi, tapi ternyata dia jauh lebih ahli. Kaki Bumi memang super, jangankan mengkayuh sepeda, berlaripun dia cepat sekali.
Nafasku sudah terseka-seka, untung Bumi berhenti, mungkin dia juga mulai lelah. Aku berhenti di sampingnya dan mulai mengerti kenapa ia tiba-tiba berhenti. Mata Bumi berkedip meredupkan cahaya keceriaannya. Di depan terlihat Rama bersepeda menuju kami dengan membonceng Seshi.
“Seshi gak pernah sesenang itu kalau lagi sama aku.” Ujar pelan Bumi.
“Haiiii.” Sapa Seshi penuh keceriaan.
“Hai juga..”
“Kalian udah selesai ya? Padahal kita nyusul mau bantuin.” Ujar Rama.
“Kalau gitu kita sarapan aja.” Usul Seshi.
Aku melihat Bumi dan paham ia tak lagi bergairah meski tadi ia sangat bersemangat.
“Bum, gantian dong boncengan Seshi, capek nih, berat dia.” Rama turun dari sepedanya dan memegang stang sepeda Bumi.
“Ah?” Bumi agak terkejut namun seperti disambar semangat lagi. Bumi melepas sepedanya dan berganti sepeda dengan Rama.
Sejenak aku merasa sangat nyaman tanpa Erka, entah kenapa. Bumi dan Seshi nampak serasi berboncengan, dan aku sangat menikmati bersepeda di samping Arly, tanpa Erka. Tapi mungkin sama seperti ku, meski Erka tak sedang bersama kami, Arly bisa jadi tengah terpikirkan sahabat kami itu. Hanya bedanya aku sedang tak ingin Erka ada bersama kami dan Arly ingin dia ada bersama kami sekarang.
“Bumi tuh gak ada capeknya apa ya? Tadi habis kejar-kejaran sama aku, sekarang lihat! Dia jauh di depan kita. Padahal aku udah ngos-ngosan banget ini.” Ujar gadis di sampingku yang menganyuh pedal sepedanya dengan pelan.
“Ya, aku juga capek banget, padahal Seshi kan berat banget. Tapi begitulah cinta, asalkan orang yang dicinta ada di samping kita, pasti jadi semangat.” Tanggapku. “Seperti sekarang kamu yang ada disamping aku.” Tambahku dalam hati sambil melihatnya.
“Jangan meleng, nanti nabrak.” Arly mengingatkanku.
Disaat seperti ini, sebenarnya waktu yang tepat jika aku membicarakan perasaanku pada Arly secara serius. Aku punya alasan kenapa perasaan ini tak pernah terungkap. Selalu tercekat di tenggoronkan. Karena tahu, akan percuma jika aku ungkapkan, sebab perasaanku tak akan terbalas. Aku tahu itu akan percuma maka itu tak akan pernah terungkap.
“Ram,” Arly menghentikan laju sepedanya. “aku beruntung banget punya kamu, senang kamu ada di sampingku, tapi kalau kamu nanti jauh dari aku, kamu akan selalu di hatiku.” Katanya penuh senyum.
Apa maksudnya? Beruntung banget punya aku? Sebagai sahabat atau kekasih? Kenapa kata-katanya ambigu begitu?
“Kalian lama banget sih!” tiba-tiba Seshi berdiri di hadapan kami. “Kita udah nyampe dari tadi, kalian baru sampai bukannya langsung masuk malah di sini aja.”
Aku menoleh ke samping dan ternyata kami sudah ada didepan warung bubur ayam. Jadi tadi Arly berhenti karena sudah sampai? Bukan karena ingin bicara padaku? Kenapa perjalan ini tersa singkat sekali? Dan kenapa Seshi harus muncul merusak suasana. Arrrgh.
“Aku beruntung banget punya kamu, senang kamu ada di samping aku, tapi kalau kamu nanti jauh dari aku, kamu akan selalu di hatiku.” Kata-kata Arly itu terniang-niang di telingaku menimbulkan semangat lain. Entahlah aku kegegeran atau apa. Apapun dimata Arly aku akan berusaha menjadi kepunyaan dia yang berharga.
Besok adalah pengumuman kelulusan, dan lusa pihak sekolah mengadakan pelepasan di luar kota. Pelepasan maksudnya pihak sekolah melepas para murid yang lulus dan bagi para murid itu adalah perpisahan karena kami yang lulus tak lagi belajar di sekolah, tak juga di didik dengan guru-guru yang sama, teman-teman akan melilih jalur masing-masing termasuk aku yang akan melanjutkan pendidikan diluar kota. Tidak lagi bersama dengan Erka, Arly, Bumi dan Seshi.
Aku lihat dua koper pakaianku yang berjajar di atas lemari. Sebentar lagi terisi dengan pakaian dan barang-barang yang akan diangkut untuk kuliah nanti. Rasanya belum siap benar jika harus pergi seperti ini. Aku masih ingin disisi mereka, setidaknya jika aku pergi dan kembali kelak, aku akan bersama mereka lagi.
“Chie.. yang besok pengumuman..” Yogi bersuara di balik pintu kamarku yang agak terbuka. “Gak bisa tidur ya?” kakakku membuka pintu lebih lebar.
“Cara kita tahu, kalau cewek suka sama kita gimana sih ka?” tanyaku.
“Hemp, pasti Arly.” Tebak Yogi sambil memasuki kamarku.
“Nyatain ajalah perasaan itu, lihat responnya.”
“Tiba-tiba aku baru kepikiran. Erka gak pernah nyatain persaannya ke Arly karena pasti dia gak enak sama aku. Kalau aku nyatain perasaan aku ke Arly, terus gimana sama Erka.”
“Aduh sumpah rumit banget sih kalian. Kalau kayak begini gak akan ketemu titik terangnya tau gak?”
“Ya terus gimana?”
“Kamu mau nyatain persaan kamu sekarang? Terus mau apa? Mau langsung nikah? Gak kan? Yaudah santai aja dulu, masa depan masih panjang bro. Kamu masih harus kuliah. Menyusun masa depan itu gak mudah, harus dipersiapkan dengan matang. Ngerti gak?”
“Maksudnya aku persiapkan masa depan demi Arly?”
Kakakku garuk-garuk kepala sambil senyum-senyum. “Benar-benar jatuh cinta nih anak.”
“Yeh, omongan kakak bikin bingung tau! Maksudnya apa sih?”
“Gak tau, kakak juga bingung tadi ngomong apa.”
Aku menyipitkan mata. “Dasar, begini ini punya kakak berlaga dewasa tapi gak terasah.”
Wali kelasku duduk di depan kelas dan memanggil muridnya satu persatu berdasarkan absen nama untuk memberikan surat pemberitahuan kelulusan. Tapi kali ini panggilan dimulai dari absen yang paling bawah jadi namaku disebut di urutan terakhir. Beberapa temanku yang sudah menerima amplop bersurat itu merasa senang setelah membaca dan mengetahui hasil ujiannya.
“Luluskan? Nilainya berapa?” tanyaku pada yang lain sambil menunggu namaku dipanggil. Sebagian hasilnya memuaskan membuat aku turut senang dan tak sabar ingin tahu hasil ujianku.
“Citra Maulida.” Sebut guruku. Itu dia, sehabis ini aku aka dipanggil. Rasanya sedikit tegang.
“Arlyka Kasih.” Akhirnya namaku, aku melangkah mendatangi wali kelas dan amplop itu disodorkan pelan dengan senyum sang guru.
“Terima kasih Pak.” Ucapku saat menerima amplop itu.
Aku kembali kebangkuku dan perlahan mengeleti amplop yang tertutup itu. menarik nafas sejenak dan membuka suratnya. Perlahan membaca tulisan di kertas itu dan tertera tulisan Arlyka Kasih dinyatakan Lulus.
“Terima kasih Tuhan.” Pujiku sambil memeluk kertas itu sebentar kemudian aku lihat lagi. Nilai-nilaiku dengan rata-rata 8,5 sangat memuaskan bagiku. Hahh, aku benar-benar merasa lega semua jerih payahku dalam belajar terbayar sudah.
Aku menemui Seshi di depan kelasnya. Gadis itu menunjukkan suratnya dengan girang. Hasil yang cukup memuaskan, Seshi lulus dengan nilai rata-rata 8. Bumi menghampiri kami dengan tampang yang tak jauh beda. Si hitam manis ini amat sumringah namun ia menolak memberitahu nilainya. Ya, yang penting lulus.
Rama dan Erka tak lama muncul.
“Nilai rata-rata aku juga delapan.” ungkap Erka setelah menanyakan nilai kami.
“Berati di sini yang nilainya paling tinggi aku dong.” Cetus Rama. “Nilai rata-rata aku sembilan koma dua.” Ucapnya mengagumkan kami.
“Hebat kamu Ram, udah di kelas IPA, nilainya tinggi lagi.” Puji Seshi.
“Eith, tapi maaf nih ya, kalau mau tinggi-tinggian nilai, kayaknya kamu kalah Ram.” Bumi menunjukkan suratnya pada kami.
“Whow..” benar-benar menakjubkan. Nilai rata-rata Bumi 9,6.
Dasar Bumi, tadi menolak memberi tahu nilainya. Tapi saat Seshi memuji Rama dia baru menunjukkan nilainya.