Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Sembilan stoples kaca, ku pandangi stoples-stoples permen yang baru saja aku keluarkan dari lemari. Hampir tidak percaya sebanyak ini permen pembelian Arly yang aku kumpulkan selama ini.
Entah sampai kapan akan mengoleksi permen pemberiannya. Mungkin sampai permen-permen ini kadaluarsa, atau bahkan sampai kamarku menjadi gudang permen. Tapi sebanyak apapun menimbun permen pemberiannya, takkan sebanding dengan banyaknya perasaanku untukknya.
“Astagaaaa, ini permen kamu rampok dari mana?” Yogi yang memasuki kamarku sangat terkejut melihat topes-stoples tersebut. Tanganya mengapai salah satu stoples tapi langsung aku rebut kembali.
“Jangan di sentuh! Ini harta karunku!” ultimatumku tegas. Seharusnya aku tidak mengeluarkan stoples-stoples ini dari lemari, aku sangat khawatir permen-permen ini dimakan kakak.
Yogi menatapku bahkan mendekatkan wajahnya. “Harta karun?” herannya. “Aku kira kamu udah dewasa, bukan lagi anak TK yang suka permen. Tapi ternyata….”
“Terserah deh kamu mau bilang apa, yang jelas jangan sentuh stoples-stoples ini apalagi makan permen yang ada di dalamnya.” Ucapku sambil memasukan kembali semua stoples permen ketempatnya semula. “Sampai aku tahu salah satu stoples ini ada yang lecet sedikitpun. Aku bikin lecet balik kamu!” ancamku santai.
“Ih berlebihan banget sih Ram! Emang apa spesialnya pemen-permen itu? Atau jangan-jangan narkoba?”
“Sembarangan!” aku buru-buru membantah tuduhan Yogi. “Itu permen dari Arly.” Ceplosku tak sengaja. Ketahuan deh rahasiaku.
“Owh, pantesan sampai kamu anggap harta karun gitu.” Yogi memaklumi. Walaupun dia kakakku, tetap saja aku merasa malu dengan hal ini.
Seusai kami latihan silat, aku menunjukan gambar yang diberikan Erka untukku tadi di sekolah kepada Nai. Tampang Nai sangat datar, semula aku pikir ia akan terkagum-kagum sepertiku. Tapi ia hanya sedikit berkomentar. “Bagus.”
Kami berjalan keluar dari sekolah. Sangat tak disangka, kak Dhani datang menghampiriku.
“Hai Ar.” Sapanya. “Aku ke sini jemput kamu, mau nganterin kamu pulang.” Ungkapnya mengejutkanku.
“Gak perlu! Arly biasa pulang bareng aku!” Nai langsung menanggapi dengan nada tinggi. Atmosfer penolakan Nai sangat aku rasakan. Ia tak menyukai kak Dhani.
“Kalau gitu untuk kali ini biarin Arly pulang bareng aku.” Pinta kak Dhani tak mau kalah.
“Gak usah repot-repot kak.” Jawabku segera sebelum Nai yang menjawabnya. “Aku pulang bareng Nai.”
“Aku ke sini cuma buat kamu lho Ar!” kak Dhani pantang mundur.
“Gak ada yang minta kan?” tukas Nai dengan tatapan tajam pada kak Dhani. Nai menggandeng tanganku erat seakan memastikan aku tak akan pergi kecuali dengannya. Aku mengeratkan genggamanku untuk meyakinkan Nai.
Rupanya kak Dhani tipe orang yang tak mudah menyerah, ia mengikuti langkah kami di belakang. Nai geram, itu aku rasakan lewat genggaman kami. Tak sempat ku kira adalah, Nai mendaratkan pukulannya ke bagian pelipis kak Dhani.
“Nai!” seru ku terkejut dan mencoba menahan tangan kuatnya walau terlambat.
Sebenarnya aku kurang semangat sekolah kalau ingat peristiwa semalam. Aku tak enak hati karena Nai memukul Kak Dhani dan kami meninggalkanya begitu saja. Tapi itu bukan alasan untuk menjadi penghalangku dalam menuntut ilmu. Nai, kenapa ia harus begitu? Membuat aku lemas saja!
“Bagi dong cokalatnya.” Bumi seolah meminta saat aku baru sampai kelas. Semula tidak mengerti. Tapi aku menemukan sekotak coklat terikat pita merah di mejaku.
“Punya siapa ini?” tanyaku pada Seshi.
“Tadi kak Dhani ke sini, nungguin kamu, tapi kamu lama banget datangnya. Jadi dia pergi terus ninggalin cokat itu buat kamu.”
Jelas Seshi dengan semangat paginya. “Oh ya Ar, tadi aku lihat di bawah matanya kak Dhani, kayak bengkak gitu. Kasian deh.” Ujar Seshi lagi menambahkan. Mendengarnya membuat aku semakin tak bersemangat.
Aku melepas tas dari pundakku dan membiarkan terjatuh di bangku. Coklat dari kak Dhani ku berikan pada Bumi. Kemudian aku meninggalkan kelas dan terdiam melihat langit dari balkon. Ada apa denganku? Rasanya semua tenagaku lenyap entah kemana. Dari belakang seseorang menarik lembut pundakku. Dengan pasti tubuhku berbalik.
“Permen spesial buat princess candy yang paling manis.”
Erka, dia yang di belakangku, mengikutiku? menyodorkan dua buah permen karet padaku. Aku mengambil salah satu permen itu dari tanganya. Permen, biasanya aku yang memberikan permen.
“Dimakan Ar, jangan diliatin aja!” seru Erka sambil membuka bungkus permen yang ada di tangannya dan mengunyah permen tersebut, kemudian bungkus permen itu ia simpan di saku bajunya. Melihat aku yang masih terdiam dengan sigap Erka merebut permen di tanganku dan membukakan bungkusnya untukku.
“Terima kasih.” Ucapku sambil mengambil permen itu dan mengunyahnya. “Ka aku…” aku ingin cerita tapi aku ragu, apakah Erka mau mendengarnya atau tidak.
“Selama aku di samping kamu, aku akan selalu bersedia dengar suara kamu. Jadi jangan pernah ragu untuk mengatakan semuanya.” Ucapnya perlahan namun bagiku penuh makna. Kenapa makhluk ini manis sekali?
“Plok.” Erka memainkan permen karetnya, melambungkannya menjadi balon. Melihat keasyikannya, aku urungkan niatku untuk bercerita dan mengikuti bermain permen karet.
“Plok, plok.” Balon permen di mulut kami meletus. Kami mengunyahnya lagi, melambungkannya lagi, meletus lagi. Mengulangnya berkali-kali.
Aku melambungkan permenku hingga menjadi balon besar di mulut. Aku menoleh ingin menunjukkan balonku pada Erka, tak aku duga Erka melakukan hal yang sama. Kami berhadapan, balon kami membesar dan hampir, tidak, balon kami menyatu.
“Deg” apa yang terjadi?
“Ppeshh.” Masing-masing dari balon permen kami meletus.
“Hhahahahahahaha…” Erka terbahak riang. Aku mematung, mersakan sesuatu. Jantungku berdegup cepat. Gugup. Ya, aku gugup. Aku harus bagaimana? Kenapa segugup ini?
Erka mengambil bungkus permen itu dan menempelkan permen yang warnanya sudah memucat di mulutnya ke bungkus itu. Ia melihat kearahku, menatap wajahku. Sebentar ia tersenyum. Ada apa? Tanganya mendekati wajahku, ah?
“Jangan sedih gitu, nanti aku kasih lagi permen karetnya.” Erka menyentuh bibirku, bukan, ia membersihkan permen karet di sekitar bibirku. Aku harus bergerak.
Aku segera membersihkan bibirku dan Erka menjauhkan tangannya. Rupanya balon permen itu meledak hingga membercak disekitar bibirku. Pantas saja Erka terbahak seperti itu. Hah, apa yang aku pikirkan? Kenapa seperti ini?