Blog Openulis

Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.

Jurnalistik Islam Ulumul Hadits

Belajar Jurnalistik Islam Dari Ilmu Jarh Wa Ta’dil (Ulumul Hadits)

Mereka perlu tahu

Jarh wa Ta’dil adalah ilmu yang membahas fakta ihwal para perawi hadits, sehingga dapat ditentukan apakah riwayat haditsnya shahih atau cacat, dapat diterima atau ditolak.

Mengingat bahwa hadits Nabi adalah landasan syariat, maka para ulama hadits berusaha sekuat tenaga untuk membuat kaidah-kaidah detail yang berguna untuk memastikan bahwa hadits tersebut benar-benar sabda, perbuatan atau ketetapan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Secara garis besar, ilmu ini adalah pedoman track record dan pernyataan terhadap seorang perawi.

Otoritas Justifikasi

Setelah mengetahui konsep dalam ilmu ini, selanjutnya adalah memahami siapa yang layak menyatakan perawi ini cacat, dan siapa perawi itu adil.

Tentu tidak sembarang orang boleh mencacat dan memberi legalitas. Karena, kalau dibiarkan semua orang boleh bicara, saya dan anda telah merasakan dampak negatifnya di zaman media sosial ini.

Ketika semua orang boleh menilai orang lain, memberi raport cacat, mengeluarkan legitimasi. Yang muncul adalah kekacauan, pertikaian, bahkan berakibat pada putusnya silaturrahim dan ukhuwah.

Kalau begitu, siapa yang boleh mengeluarkan pernyataan bahwa seseorang bisa diterima periwayatannya atau ditolak, dalam ilmu jurnalistik ini berkaitan dengan koresponden dan wartawan?

Syekh DR. Abdul Aziz Al Abdullatif menukil dari kitab al-Muqidzah karya Ad-Dzahabi dan kitab Nuzhah an-Nadzor karya Ibnu Hajar al-Asqolani tentang 4 syarat seorang yang boleh menilai keadaan perawi:

  1. Adil
    2. Wara’, sifat wara’ mampu mencegahnya dari ta’ashub (fanatik buta) dan hawa nafsu, hingga ia menjadi sumber yang objektif.
    3. Jeli, agar tidak tertipu oleh penampilan luar seorang perawi, saksi mata dan koresponden.
    4. Harus mengetahui sebab cacat dan sebab perawi bisa dipercaya, agar tidak mencacat yang bisa dipercaya dan tidak mempercayai yang cacat.

Lihatlah satu per satu. Yang menilai orang lain adil atau cacat harus orang yang adil. Bagaimana menilai orang lain, sementara diri sendiri masih jauh dari sifat adil. Silakan pelajari makna adil menurut ilmu hadits dan fiqih. Jangan salah kaprah seperti pemahaman keliru kita terhadap ayat “fitnah lebih kejam dari pembunuhan“.

Mari tahu diri…

Harus punya sifat wara’. Sebuah akhlak mulia yang membuat seseorang sangat menjaga dirinya, menjaga lisannya, berhati-hati ketika hendak bicara tentang kehormatan orang lain. Akhlak inilah yang membuatnya menjadi terbebas dari fanatisme golongan dan menuruti hawa nafsu dalam menilai orang lain. Maka, mereka yang sangat fanatik dengan kelompoknya, sehingga sering condong dalam menilai di mana hanya yang berasal dari kelompoknya saja yang selalu benar. Maka bagaimana ia menilai orang lain.

Mari tahu diri…

Harus mempunyai kejelian analisis. Karena salah menilai penampilan luar seseorang, kemudian memberikan vonis, maka kita telah mendzaliminya. Jika masih begini cara pandang kita terhadap orang lain. Bagaimana kita menilai orang lain.

Mari tahu diri…

Tabayyun dan Konfirmasi

Dalam Kitab Al Majruhin karya Imam Ibnu Hibban rahimahullah dikisahkan:

Yahya bin Ma’in datang kepada Affan untuk mendengarkan kitab-kitabnya Hammad bin Salamah, lalu terjadi dialog antar keduanya;

Affan: Bukankah kamu telah mendengarnya dari orang lain?

Yahya: Ya, saya sudah mendengar dari 17 orang yang merujuk kepada Hammad bin Salamah.

Affan: Demi Allah, saya tidak mau meriwayatkannya kepadamu.

Yahya: Aku hanya punya satu dirham dan aku akan pergi ke Bashrah untuk mendengar riwayat dari at-Tabudzaki.

Affan: Silakan.

Maka Yahya pun pergi ke Bashrah, di sana ia bertemu Musa bin Ismail.

Musa berkata: Apakah kamu belum mendengarnya dari orang lain?

Yahya: Aku telah mendengarnya dari 17 orang dan Anda orang ke 18.

Musa: Untuk apa kamu lakukan ini?

Yahya menjawab: Hammad bin Salamah bisa salah. Maka saya ingin mengkonfirmasi apakah kesalahan ini berasal dari beliau atau dari murid-muridnya (yang merujuk kepadanya). Kalau ternyata seluruh muridnya sepakat sama, maka saya tahu kesalahan dari Hammad. Tapi jika mereka sepakat, dan ada satu yang berbeda, maka saya dapat memastikan kesalahan berasal dari satu orang itu bukan dari Hammad. Maka saya mengetahui kesalahan dari beliau atau dari orang lain.

Ini bukan satu-satunya kisah para ulama hadits, silakan baca biografi Imam al-Bukhari dan Muslim. Maka kita akan memahami, bahwa mereka tidak menyimpulkan kecuali setelah mendengarkan, membaca, mengumpulkan, mengulangi sekian banyaknya. Ini telah menjadi kaidah yang sama antar semua ulama hadits.

Yahya bin Ma’in berkata: Kalau kami belum menulis hadits dari 30 jalur, maka kami belum memahaminya. (al-Majruhin, Ibnu Hibban)

Abu Hatim ar-Razi berkata: Kalau kami belum menulis hadits dari 60 jalur riwayat, maka kami belum memahaminya (Fathul Mughits, as-Sakhowi)

DR. Anis Thahir al-Indunisi, melalui kaset yang berjudul ضوابط حسنة في فهم السنة, pernah memaparkan tentang kaidah-kaidah memahami sunnah dan hadits. Di antaranya adalah:

جمع أحاديث الباب الواحد في مكان واحد

(Mengumpulkan hadits-hadits satu bab di satu tempat)

Contoh: Imam Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram mengumpulkan hadits-hadits tentang buang air sebanyak 22 riwayat. Kemudian baru bisa disimpulkan mana yang paling shahih, sehingga bisa didapat dengan lengkap berbagai hukum seperti adab buang air dan sebagainya.

Sehingga beliau tidak gegabah menyimpulkan sesuatu hanya berdasarkan satu atau dua hadits shahih, satu atau dua buku saja. Kumpulkan selengkap dan sebanyak mungkin, analisis dengan ilmiah, baru bisa disimpulkan.

Agar kedepannya kita dapat benar-benar mengamalkan ungkapan para ulama:

Jangan mengatakan sesuatu, yang perlu meminta maaf setelah itu.

Akhirnya, saya akhiri ulasan singkat ini dengan sebuah ayat al-Quran yang menegaskan bahwa setiap muslim harus memahami jurnalistik yang benar. Berita dan informasi tidak hanya perlu aktual, tapi juga harus faktual.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik1 membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menyebabkan bencana kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal. (al-Hujurat: 6)

Credit:

Tulisan ini adalah rangkuman dan penyusunan ulang dari tulisan dari Ust. Budi Ashari.

_______

1Fasik berarti tidak jelas, orang atau informasinya. Juga berarti tidak adil menurut konsep Islam.

Mereka perlu tahu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *