Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Zakat Fitrah, 2 kata yang sudah tidak asing lagi dalam ingatan muslim. Identik dengan takaran 3,5 liter beras dan Bulan Ramadhan. Udah, gitu doang!
Saking simpelnya, kita merasa ngak perlu lagi belajar apa dan bagaimana zakat fitrah yang benar. Akhirnya, banyak nilai urgen dalam ketentuan zakat tersebut yang terlupakan.
Dalam hal ini kita akan membahas beberapa poin yang kerap kali dilanggar orang Islam, pastinya akan menentukan sah atau batalnya ibadah zakat fitri tersebut.
1. Anak yatim dan janda mendapat zakat
Anak yatim dan janda bukanlah penerima zakat fitrah. Inilah yang banyak tidak dipahami masyarakat muslim di Indonesia. Silakan lihat lagi al-Quran dan kitab fiqihnya. Allah bersabda:
إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Zakat hanyalah untuk orang-orang fakir, miskin, pengelola zakat, mualaf, untuk (memerdekakan) budak, orang yang berhutang demi kepentingan agama, untuk perjuangan di jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (At-Taubah [9]: 60)
Secara gamblang, dalil menyebutkan asnaf penerima zakat (mustahik). Karena ini termasuk syarat, maka tidak dibenarkan membayar zakat pada kelompok di luar itu. Secara tidak langsung, zakat yang ditunaikan dianggap batal alias tidak sah.
Kecuali, anak yatim atau janda tersebut termasuk dari salah satu kelompok orang yang berhak menerima zakat fitrah.
2. Lupa tujuan utama zakat fitrah
Islam adalah agama yang sangat mementingkan esensi. Misalnya, shalat: ibadah ini bukanlah gerak berdiri, rukuk, sujud yang kering tanpa makna. Shalat bukanlah olahraga dengan nuansa ritual agama. Lebih dari itu,
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
Shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar. (Al-‘Ankabut [29]: 45)
Shalat bertujuan untuk menjaga manusia dari tingkah laku menyimpang dan kriminal. Mengenai tujuan shalat ini, saya yakin sudah banyak yang tahu. Tapi ketika ditanya, “apa tujuan dari zakat fitrah?” Banyak yang tidak tahu.
Kalau zakat maal (harta), tidak jarang yang telah mengerti target puncaknya adalah agar roda perekonomian terus berjalan dengan mengalirnya mata uang kepada masyarakat kalangan bawah, Allah berfirman:
كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ
… supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. (Al-Hasyr [59]: 7)
Sementara, tujuan yang terpenting dari zakat fitrah adalah sebagaimana yang disabdakan Rasulullah shallallahu alahi wa sallam berikut:
اغنوهم عن طواف هذا اليوم
Cukupilah mereka (fakir dan miskin) agar tidak perlu bersusah payah mencari nafkah pada hari ini (idul fitri). (al-Baihaqi, al-Daruqutni)
Yang dimaksud untuk mencukupi adalah kebutuhan pangan. Seperti yang telah kita ketahui dalam konsep Islam, orang miskin adalah:
| Mereka yang memiliki pekerjaan, tapi mata pencariannya pas-pasan bahkan kurang.
Sementara fakir, lebih parah dari itu. Bisa jadi, tidak memiliki pekerjaan karena tua dan jompo, atau menderita penyakit yang menghalanginya untuk bekerja, seperti lumpuh dll.
Orang miskin dan fakir itu memiliki banyak kendala untuk menabung. Jangankan menyisikan uang, mampu makan sehari 3 kali saja sudah bersyukur bukan main.
Karena alasan inilah setiap harinya mereka selalu memaksakan diri mencari nafkah, “kalau gak kerja, saya mau makan apa hari ini?”.
Makanya, tujuan utama zakat fitrah adalah konsumsi. Dari itu kita dapat menarik 2 hal penting:
- Penyaluran zakat fitrah harus berupa makana pokok di wilayah tersebut, meskipun ketika dikumpulkan berupa mata uang.
- Pemerintah atau lembaga apapun dilarang mengumpulkan zakat fitrah, kemudian dikelola di luar kebutuhan konsumsi hari lebaran, seperti; pendidikan dan infrastruktur.
3. Menyetarakan zakat orang kaya
Islam adalah agama yang relevan untuk segala zaman dan tempat. Misalnya di wilayah atau negara yang makanan pokoknya bukan nasi, seperti jagung dan gandum. Maka, zakat yang berlaku di sana juga gandum atau jagung.
Islam juga realistis terhadap kebutuhan dan gaya hidup. Keduanya berjalan seimbang dan konsekuen. Menurut satuan volume, setiap orang memiliki wajib membayar zakat fitrah dengan takaran yang sama 3,5 liter beras. Tapi, tidak demikian ketika di konversi dalam mata uang untuk orang tertentu, dengan gaya hidup tertentu pula.
Contohnya, orang kaya yang biasa mengkonsumsi beras jepang yang harganya di atas harga normal beras Indonesia. Dalam praktiknya, ia pun harus mengeluarkan zakat beras jepang juga.
Demikian juga fidyah. Kalau seseorang biasa mengeluarkan biaya sebesar 500rb perhari untuk konsumsinya sendiri, makan dan minum. Maka 500rb adalah nilai fidyah yang harus ia keluarkannya untuk 1 orang fakir atau miskin.
Jangan sampai, sehari-hari kita konsumtif barang berkualitas. Tapi, saat diminta menderma untuk orang lain, justru barang standar bawah yang kita berikan. Allah berfirman:
لن تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شيء فإن الله به عليم
Kebaikanmu tidak akan sempurna, sampai engkau memberikan yang terbaik yang engkau cintai. Allah sungguh mengetahui apa yang engkau dermakan. (Ali Imran: 92)
Terkait relevansi di atas, Islam mengajarkan:
Saat kamu tidak mampu membayar zakat, berarti kamu berhak mendapat zakat. Ketika kamu tidak lagi mampu mengerjakan shalat, sudah saatnya kamu dishalatkan.
Al-Khithabi mengutip keterangan Imam as-Syafii, yang menerangkan,
إذا فضل عن قوت المرء وقوت أهله مقدار ما يؤدي عن زكاة الفطر وجبت عليه
“Jika makanan seseorang melebihi kebutuhan dirinya dan keluarganya, sebesar nilai membayar zakat fitrah, maka dia wajib menunaikan zakatnya.” (Ma’alim As-Sunan karya Al-Khithabi, 2/49).
4. Memberikan zakat kepada orang tua dan anak
Sudah maklum, ayah-ibu sayang pada anaknya, begitu pula sebaliknya. Selama dalam batas aturan syariah, “nepotisme” kepada keluarga diperbolehkan. Mengenai ini, silakan baca pembahasan para ulama tentang silaturrahim dan kekerabatan.
Yang disayangkan, muslim di Indonesia banyak yang belum memahami hal ini. Beberapa kali ada orang bertanya, “Ustadz, apakah boleh kita berzakat kepada orang tua sendiri?”
Saya sendiri kalau gak dengar pertanyaan itu, gak kepikiran bahwa akan ada anak yang berzakat pada orang tua. Mungkin dipikirannya, “Dari pada duit/beras ini saya kasih ke orang lain, mendingan dikasih ke orang tua.”
Padahal, jika orang mau berlogika Islam yang benar. Orang tua dan anak bukanlah orang yang tepat menerima zakat. Sebaliknya, kita berkewajiban menzakati mereka atau memberikan zakat atas nama mereka meskipun mereka termasuk dalam 8 golongan mustahik.
Bonus: Nilai Ekonomi Zakat Fitrah
Di atas telah dijelaskan secara eksplisit zakat fitrah bertujuan memenuhi kebutuhan konsumtif, bukan produktif. Namun, tidak serta-merta terlepas begitu saja dari ranah ekonomi. Mari kita hitung.
Gampangnya seperti ini:
Kita ambil 100.000 penduduk muslim Indonesia, kemudian dikalikan harga 3,5 liter beras.
10.000/liter beras X 3,5 = 35.000,-
35.000 X 100.000 = 3.500.000.000 (tiga milyar lima ratus juta).
Bayangkan, kemana uang yang kita belanjakan itu. Betapa besar manfaatnya jika dibelikan beras dari orang yang tepat dan diberikan pada orang yang tepat.
Silakan baca: cara sedekah efektif dan membangun
Jumlah itu masih tidak seberapa jika kita mengumpulkannya secara berkala setiap bulan dalam bentuk sedekah demi kepentingan pendidikan misalnya.
Kita dapat menyekolahkan para dokter dengan uang umat, agar belajarnya fokus dan kemudia mereka kembali pada umat. Itu baru zakat fitrah. Bagaimana dengan zakat mal?
Begitu besar manfaat yang akan kita dapat jika dikelola dengan benar. Semua itu hanya akan tercapai jika semua orang Islam, melek syariat.