Blog Openulis

Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.

akhlak bisnis pengusaha muslim sukses

Takdir Kesenjangan Rezeki Akibat Perbedaan Profesi dan Pangkat Manusia

Mereka perlu tahu

Kesenjangan dalam hal rezeki (kaya-miskin) antar manusia adalah sunatullah, pun manusia berbeda-beda berdasarkan kelebihan bakat yang dibawanya sejak lahir atau manfaat yang didapat dari bakat itu sendiri. Allah berfirman,

نحن قسمنا بينهم معيشتهم في الحياة الدنيا ورفعنا بعضهم فوق بعض درجات ليتخذ بعضهم بعضا سخريا ورحمت ربك خير مما يجمعون

Kami telah menentukan eksistensi antar manusia dalam kehidupan dunia, dan Kami tinggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar mereka saling membutuhkan. Ketahuilah, rahmat Tuhanmu lebih berharga dari semua harta yang mereka kumpulkan1.” (Al-Zukhruf: 32)

Karakter kehidupan manusia berlandaskan perbedaan bakat manusia itu sendiri. Perbedaan ini memungkinkan setiap orang untuk bekerja, selama perbedaan itu masih dalam lingkup kecakapan kerja.

Perbedaan ini sangat diperlukan untuk diversifikasi peran yang dibutuhkan untuk mengelolaan bumi. Seandainya seluruh manusia adalah duplikasi sesamanya alias memiliki kemampuan dan kapasitas yang sama, mustahil kehidupan dunia dapat menjadi seperti sekarang ini.

Tentu saja karena banyaknya profesi tanpa adanya pihak yang mau membayar dan yang mengerjakan. Seandainya semua manusia berprofesi sebagai pengusaha/wirausahawan, siapa yang akan bertani, mengajar dan membangun infrastruktur?

Demi Allah yang telah menciptakan kehidupan dan menghendaki adanya kontinuitas dan progres; Ia menciptakan kompetensi dan kecenderungan yang beranekaragam sebagaimana peran yang dibutuhkan. Dari diversifikasi peran ini, terjadilah kesenjangan rezeki.2

Pengusaha muslim hendaklah beriman terhadap kebenaran ini, dan tidak tergiur melihat orang yang lebih kaya darinya, dan memandang rendah kondisi orang yang lebih miskin di bawahnya.

Dengan begitu ia akan bersyukur dan memuji Allah atas segala nikmat yang dimilik. Terkadang, kelancaran rezeki adalah ujian untuk melihat apakah seorang hamba bersyukur atau kufur. Sebagaimana kesulitan menguji sabar atau putus asa. Allah berfirman,

والله فضل بعضكم على بعض في الرزق فما الذين فضلوا برآدي رزقهم على ما ملكت أيمانهم فهم فيه سواء أفبنعمة الله يجحدون

“Allah lah yang melebihkan rezeki sebagian kamu dari sebagian yang lain. Lantas mengapa orang-orang yang dilebihkan itu tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka juga merasakan rezeki itu. Apakah mereka ingin mengingkari nikmat Allah?” (an-Nahl: 71)

Lewat memahami ayat di atas, pengusaha yang beriman akan mengerti bahwa rezeki dan sukses bukan karena usahanya semata, melainkan karena Allah yang memberikan. Dengan begitu ia tidak akan rakus pada hartanya, tidak takut rezekinya berkurang, dan itu dibuktikan dengan besarnya zakat dan sedekah yang ia keluarkan.

Jadi, walaupun adanya perbedaan pangkat, profesi dan gaji, tidak akan muncul kesenjangan sosial. Otomatis, tindakan kriminal seperti korupsi dan pencurian akan berkurang dengan sendirinya.

Allah azza wajalla juga berfirman,

يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيبا

“Janganlah kamu iri hati terhadap karunia yang Allah lebihkan kepada sebagian kamu. Laki-laki memiliki bagian atas usaha mereka, dan para wanita pun memiliki bahagian atas  usaha mereka. Maka mintalah karunia kepada Allah. Allah sungguh Maha Mengetahui segala sesuatu.” (an-Nisa: 32)

Menanggapi ayat di atas, Ibnu Abbas berkata, “Janganlah seseorang iri hati dengan berkata, ‘seandainya aku memiliki harta dan keluarga seperti fulan…’. Itu adalah perbuatan yang dilarang Allah, tapi berdoalah kepada Allah agar memberikan karunianya.”3

Allah Maha Mengetahui siapa yang pantas menjadi kaya raya, lantas memberikannya. Dia pun mengetahui siapa yang pantas untuk melarat, lantas memiskinkannya. Dia juga mengetahui siapa yang pantas masuk surga, lantas menakdirkannya mengerjakan amal saleh. Dia mengetahui siapa yang pantas gagal, lantas menelantarkannya dalam kemalasan.

Ummu Darda berkata, “Mengapa ada saja orang yang berdoa – tanpa usaha-, ‘ya Allah berikan aku rezeki’ padahal dia tahu bahwa Allah tidak  menurunkan hujan emas dan perak, tapi memberikan rezeki sebagian manusia melalui sebagian yang lain. Siapa yang diberikan sesuatu, maka terimalah. Jika merasa tidak membutuhkannya, maka berikanlah kepada yang membutuhkan. Jika merasa membutuhkannya, maka manfaatkanlah sekadarnya. Manusia tidak dapat menolak rezeki yang Allah berikan.”4

Islam menginginkan pribadi seorang pengusaha, suci dari penyakit hati berupa iri dan dengki yang merusak agama. Dengan begitu, ia akan hidup dengan hati yang sehat, bebas dari obsesi yang memicu permusuhan. Jika melihat nikmat yang menguntai pada dirinya atau orang lain, ia turut merasakan karunia Allah dan mengingat sabda Rasul, “Ya Allah, semua nikmat yang aku dan makhluk-Mu rasakan hanya berasal dari-Mu, tiada sekutu bagi-Mu, dan hanya Engkaulah yang berhak atas pujian dan rasa syukur itu.”5

Jika melihat kesedihan menimpa sesorang, ia pun turut merasakan duka itu dan berharap pada Allah agar menghilangkan kesulitan itu dan memberinya pertolongan.

Diriwayatkan Abdullah bin Amru bahwa Rasullah pernah ditanya, “Siapa manusia terbaik?”, Beliau menjawab, “Setiap insan yang hatinya jernih dan lisannya jujur.” Mereka bertanya, “kami paham apa itu lisan yang jujur, tapi apa itu hati yang jernih ?” Beliau menjawab, “hati yang jernih adalah yang bertakwa lagi bersih, tidak ada dosa; kedzaliman, benci dan dengki di dalamnya.”6

_______

1Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisyi, Tafsir al-Quran al-Adzim, Dar Thaybah li al-Nasyri wa al-Tauzi, 1420H, 1990M, vol. 7, h. 226.

2Sayyid Qutub, Fi Dzilal al-Quran, Dar al-Syuruq, Beirut, cetakan ke-2, 1406H, 1986M, vol.  5, h. 3187

3Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisyi, Tafsir al-Quran al-Adzim, Dar al-Fikr Beirut, 1401H, vol. 1, h. 488.

4Yusuf bin al-Zaki Abdurrahman Abu al-Hajjaj, Tahdzib al-Kamal, Tahqiq Dr. Basyar Iwad Maruf, Muassis al-Risalah, Beirut, cetakan pertama, 1400H, 1980H, vol. 53, h. 365.

5Ibnu Hibban, Sahih Ibnu Hibban, vol. 3, h. 143.

6Ibnu Majah, Sahih Ibnu Majah, vol. 2, h. 1409.

Mereka perlu tahu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *