Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Meski mengajukan nama Umar bin Khattab & Abu Ubaidah, namun Abu Bakar lah yang diangkat menjadi khalifah oleh kaum muslimin.
Sebab umat Islam menangkap isyarat nabi Muhammad ﷺ tentang siapa yang paling pantas memimpin sepeningga beliau.
Bahkan Umar sendiri menolak pencalonan dirinya dengan pernyataan tegas,
“Lebih baik saya dihukum mati tanpa dosa, daripada harus memimpin kaum yang ada Abu Bakar di dalamnya.”
Umar ibn al-Khattab
Karena menyadari keutamaan Abu Bakar.
A. Amanah Jabatan
Sadar tak mungkin ngurus negara sendirian, Khalifah Pertama ini membagi kekuasaanya.
Jadi, Abu Bakar main politik sampe harus bagi-bagi kekuasaan? Tanggung jawabnya bro, bukan kursi jabatan.
Tentunya konsep ini perlu pengorbanan nyata. Gak mau berkorban? Jangan menjabat.
Gak mau berkorban itu sendiri bukti nyata, sebenarnya kita sedang cari untung.
Masih terukir dalam sejarah NKRI, beberapa tokoh bangsa seperti KH. Agus Salim. Meski jabatan tinggi, tapi beliau masih ngontrak rumah di gang layaknya rakyat jelata.
Padahal kita tahu kerjanya bagus, orangnya amanah, profilnya sederhana dan bebas dari korupsi.
Pejabat hari ini perlu merenung sejenak. Kalau kamu masih menikmati fasilitas negara, lalu gak sukses, didemo orang, dikritik pakar, artinya usahamu belum maksimal.
Pantas jika rakyat tak percaya. Maka buktikan bahwa engkau benar berjuang demi wong cilik. Lepas semua gajimu, jangan ambil fasilitas jabatanmu.
Baca juga kisah Umar bin Khattab blusukan.
Kembali ke sejarah.
Allah berfirman:
وأمرهم شورى بينهم
Untuk secuil gagasan saja, kita diperintah saling berbagi dalam musyawarah. Apalagi eksekusi program kerja sebuah negara.
Nabi ﷺ itu kenal pribadi sahabatanya lengkap serta kapasitas masing-masing.
Maka, Abu Bakar pun demikian, menunjuk orang-orang kompeten untuk mengisi pos-pos jabatan.
Karenanya, pejabat yang dipilih dalam Islam bukanlah tindak korupsi, kolusi dan nepotisme; ada fit and proper test serta portofolionya.
Bahkan Khalid bin Walid yang terhitung baru masuk Islam pun kebagian menjadi Jenderal. Karena memang dia yang terbaik.
Di antara sahabat mulia itu, ada Abu Ubaidah bin Jarrah.
Ini orang keren banget.
Andai beliau masih hidup sesaat sebelum Umar wafat, kita akan mengenalnya sebagai Khalifah ke-3 dalam Islam.
Qadarullah, beliau wafat saat mengurus warganya yang tertimpa wabah.
Digelari oleh nabi Muhammad sebagai “Amiin Haadzihi l-Ummah” (orang paling amanah di umat ini), beliau dianggat sebagai menteri keuangan negara.
Ini ada pembahasannya luas, bagaimana negara gak perlu hutang untuk pembangunan dan operasional pemerintahan, gak pake pajak, apalagi jual aset.
B. Umar bin Khattab al-Faruq
Islam diturunkan oleh Allah Tuhan semesta alam untuk mengatur dunia dan manusia sebagai mandataris pengelola bumi (baca. Khalifah).
Tak heran jika agama ini mengatur segala macam hal; mulai yang bersifat pribadi seperti BAB, ibadah ritual, sampai ekonomi dan sosial.
Untuk menjamin semua ini berjalan baik dan benar, ditunjuklah Umar bin al-Khattab sebagai hakim.
Btw, kenapa yah beliau ditunjuk menjadi hakim?
Pertanyaan ini menarik buat kita yang hidup di tengah carut-marutnya penegakan hukum.
Pengadilan banyak, tapi sulit mencari keadilan.
Soal tampang, beliau memang meyakinkan sebagai penegak hukum.
Badan gede, sangar, kuat, suara lantang, larinya cepat, pukulannya sakit.
Tapi, bukan fisik yang jadi ukuran Islam. Lebih dari itu, poin ini krusial dan banyak dilupakan oleh kita yang ngaku modern.
ILMU! Sekali lagi “ilmu”.
Keluasan ilmu lah yang menempatkan Umar bin al-Khattab di posisi hakim.
Dari mana Abu Bakar menilai keluasan ilmu Umar? Dari sabda nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam:
بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ رَأَيْتُ النَّاسَ عُرِضُوا عَلَيَّ وَعَلَيْهِمْ قُمُصٌ، فَمِنْهَا مَا يَبْلُغُ الثَّدْيَ، وَمِنْهَا مَا يَبْلُغُ دُونَ ذَلِكَ، وَعُرِضَ عَلَيَّ عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ، وَعَلَيْهِ قَمِيصٌ يَجْتَرُّهُ
“Aku bermimpi melihat gamis orang-orang, ada yang mengenakan sebatas dada, ada yang lebih dari itu. Aku juga melihat Umar bin al-Khattab menyeret-nyeret gamisnya (saking panjangnya).” (al-Bukhari)
Beliau ditanya, “Bagaimana engkau mentakwil mimpi itu ya Rasulullah?”
Ringkas jawabnya, “Ilmu agama”.
Di samping hadits tersebut, ada juga riwayat lain yang menyebut Umar dengan julukan “al-Faruq” yang berarti “pembeda dan pemisah”.
Karena beliau dinilai paling tegas memilah antara baik dan buruk, haq dan bathil, salah dan benar, penting dan yang lebih penting.
Gelar yang sama dimiliki oleh al-Quran, “al-Furqon”.
Demikianlah sepanjang sejarah keemasan Islam, para hakim dipilih berdasarkan samudera ilmu mereka.
Ini yang tidak kita miliki sekarang.
Tanpa bermaksud merendahkan lembaga atau institusi manapun; hakim, jaksa, pengacara hari ini kebanyakan hanya menekuni bidangnya saja.
Maksudnya, hakim adalah orang yang memang lulusan sekolah/kampus hukum.
Pengetahuan tentang hukum undang-undangnya mendalam, tapi soal psikologi, sosiologi, humanisme, adat dan agamanya minim.
Akibatnya, sebaik apapun dan cerdas Anda, tidak mungkin jadi hakim kalau bukan lulusan fakultas hukum.
Imbasnya, hukum kita kaku & dingin. Hakim hanya jadi ‘petugas’ ketok palu, yang penting ikut pasal.
Salah atau benar, baik atau benar, bijak atau tidak, adil atau zolim, bukan urusan. Yang penting udah sesuai undang-undang.
Bagaimana mungkin bisa, ada anak menuntut ibu kandungnya soal warisan, sementara wanita yang melahirkannya itu masih hidup?
Bukankah anak lahir tanpa membawa sepeser harta pun! Tapi hakim tak peduli ketika nama anak berada di atas surat tanah. Lantas Ibu harus kalah.
Di mana hikmah dan kebijaksanaan itu?
Mana aktuaslisasi Pancasila yang keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia?
Saat ada seorang nenek dipenjara karena mengambil sebatang pohon kecil untuk memasak. Sementara koruptor mencuri milyaran uang rakyat, hanya dibui 2 tahun.
C. Rakyat dan Pejabat Tahu Diri
Tak lama menjabat, kurleb 1 tahun, Umar mengajukan resign dari tugasnya di Kejaksaan Agung.
Tentu Abu Bakar heran, “Apa karena sulit wahai putra Khattab?”
Teori dasarnya kan “jabatan adalah amanah”. Makanya kalau ada yang undur diri, kemungkinan pertama ialah karena takut gak amanah karena sulit diemban.
Dalam sejarah Islam, beberapa ulama sampai dikejar-kejar atau dihukum cuma karena gak mau menjabat, takut salah amanat.
Tapi kali ini Umar berbeda, “Bukan, wahai Abu bakar, tapi karena saya sudah setahun menjabat, tapi tak satu laporan pun masuk ke meja saya.”
Gak ada pengaduan, berarti negaranya aman dan tentram. Gak ada konflik atau kasus. Bagaimana mungkin?
Jawabannya pada perkataan Umar selanjutnya, “Saya rasa, masyarakat kita terbiasa saling mengingatkan dalam kebenaran, dan mencegah kemungkarang. Mereka tahu hak dan kewajiban hingga tak ada yang bertikai.”
Dari kata-kata bijak Umar ini, setidaknya kita bisa ambil 2 kesimpulan kenapa bisa sedemikian kondusif keadaan negara.
- Saling mengingatkan dan mencegah.
- Tahu mana hak dan kewajiban.
Bukankah muara konflik cuma berkutat dalam 2 hal ini saja?
Manusia bisa lalai, untung ada yang ingatkat. Lalai, ada pencegahan.
Lah, kalau yang mengingatkat dicap radikal dan pencegahan dianggap melanggar HAM, kan repot urusannya.
Kita sepakat adanya Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, NKRI ini negara beragama.
Maka, jangan biarkan skulerisme, liberalisme, ateisme dan komunisme menunggangi pemerintahan.
Rakyat jadi kecewa, marah, kesal.
Bukankah banyak konflik itu lahir dari pihak yang abai akan kewajiban atau over mengambil hak?
Perusahaan telat bayar gaji, itu melanggar hak karyawan dan abai kewajiban.
PNS telat datang ke kantor, itu melanggar hak negara dan abai kewajiban.
Suami tidak memberi nafkah, itu melanggar hak keluarga dan abai kewajiban.
Hak suami adalah kewajiban istri. Kewajiban penerintah adalah hak rakyat.
أَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
Penuhilah hak setiap yang berhak.
Baca juga: Penegakan Hukum di Zaman Khalifah Umar bin Khattab