Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Perempuan mengunakan perasaannya di setiap ruang
“Jarak isobar di bagi 111 KM.” Ujar Bumi menerangkan sebuah rumus pada Seshi. Tapi orang yang sedang di jelaskan pelajaran malah hanya memandang ke luar pintu tak konsentrasi dengan pelajarannya. “Ses, kamu udah ngerti ya?” tanya Bumi penuh kesabaran.
“Iya, rumus Shmidt Ferguson kan.” Jawab Seshi asal.
“Kok Shmidt Ferguson sih?” heranku. “Gradien Barometris Seshi…” jawabku agak geram.
“Oh, hehehe..” Seshi cengengesan.
Aku tahu apa penyebab Seshi tidak fokus pada pelajarannya. Gadis imut ini pasti menanti kedatangan Rama. Sejujurnya pun aku heran kenapa Rama dan Erka belum juga sampai ke rumahku. Apa mereka tak akan datang? Pertanyaanku langsung terjawab ketika Rama dan Erka muncul di depan ruamahku.
“Kirain, kalian gak datang.” Ucapku menyambut kedua bintang basket itu.
Seshi langsung buru-buru terfokus pada buku pelajarannya, aku dan Bumi saling memandang. Dasar Seshi, tadi sebelum Rama datang mana sadar ia dengan pelajarannya. Aneh memang, ya tapi begitulah. Kadang kita tak mengerti dengan apa yang kita mau seperti halnya aku yang bingung sendiri karena ada Erka.
Ini rumahku dan aku tidak boleh bersikap ‘dingin’ pada Erka. Dingin? Apa selama ini bersikap dingin pada Erka? Aku rasa tidak, aku hanya sedikit menghindarinya. Lalu sikap apa itu? Aku jadi bingung sendiri. Seharus tidak begini, tapi bagaimana seharusnya? Aku benar-benar bingung.
Kejanggalan bukan hanya dirasakan Erka. Melainkan aku juga sadar mengenai sikap Arly yang agak cuek bahkan terkesan menghindari Erka. Sikap dinginnya itu menyadarkanku bahawa ia sedang salah tingkah. Hal ini apa hanya aku yang memahaminya atau Erka juga merasakan hal yang sama, menyadari kalau Arly menyukainya.
“Mungkin dia marah karna aku gak jadian sama Raia.” Duga Erka.
“Kalau ternyata sikapnya dingin karena dia suka sama kamu gimana?” tanyaku.
“Kamu suka sama dia tapi kamu gak bersikap dingin ke dia.”
“Perempuan itu kan beda sama kita, mereka mengunakan perasaannya di setiap ruang. Gak seprofesional laki-laki yang bisa mengabaikan perasaan.” Tegasku sekenanya.
“Menempatakan perasaan dengan tepat, bukan mengabaikan.” Erka mengkoreksi perkataanku.
“Ya seperti itu. Ini masuk akal, dia suka sama kamu, tapi begitu tahu kamu menyukai orang lain. Dia merasa harapanya pupus dan dia mikir lebih baik menjauhi kamu makanya dia ngehindarin kamu.” Jelasku pada Erka. “Waktu dia belum tahu kamu suka orang lain, sikap dia biasa aja kan.” Tambahku.
Erka terlihat merenungi perkataanku, matanya bahkan tak berkedip memandangi lukisan air terjun di kamarku.
Warga kelas XII IPS 2 telah berkumpul di lapangan dengan training seragam karena jadwal pelajaran pertama setiap hari rabu di kelas ku adalah pelajaran olahraga. Aku berbaris tertib dengan teman-temanku yang lain sambil mendengarkan intruksi dari Pak Adi guru Olahraga kami.
“Ar, Erka ngapain disitu?” tanya Nia teman di sebelahku.
“Mana?” mendengar nama Erka di sebut mataku langsung berpatroli di sekitar pandangan mencari sosok itu.
“Dekat Keranjang bola.” Tambah Nia memperjelas laporannya.
Bola mataku langsung tertuju pada ruang di tepi lapangan. Dari jauh aku lihat sosok tinggi itu tengah memperhatikan kami. Aku, bukan! Kaila lebih tepatnya. Aku berbaris di belakang Nia, jika matanya terarah kesini. Gadis yang disukainya tentu yang akan ia perhatikan. Aku tak akan ada arti apa-apa di matanya.
“Strecing di mulai!” perintah sang guru.
Kami mendangakkan kepala dengan dorongan dari jari pada dagu dan serempak mulai menghitung. “Satu, dua, tiga…”
“Dia keren banget sih Ar, kamu beruntung bisa jadi sahabatnya.” Kesan Nia di tengah gerakan pemanasan yang kami lakukan.
Sahabat? Ya, aku beruntung bisa jadi sahabatnya. Meski aku bukan orang yang diinginkannya, meski aku bukan orang yang akan dirindukannya, meski aku bukan yang selalu di pikaranya, meski aku bukan yang berati baginya. Sama halnya aku memiliki sebotol parfum yang kosong. Memang masih terasa wanginya. Tapi tetap saja botol itu kosong, tanpa isi.
Aku rasa aku telah termakan Film Bollywood yang menyatakan bahwa ‘laki-laki dan perempuan tidak akan bisa jadi sahabat,’ seperti Anjali dan Rahul yang terjerat cinta padahal mereka sahabat. Tapi kisahku ini bukan kisah cinta seperti Kuch Kuch Hota Hai.
“Kayaknya udah lama juga ya kita gak main bareng.” Lepas Seshi saat aku dan Bumi berjalan mendampinginya menuju perpustakaan. Aku menoleh ke Seshi “terakhir, di rumah kamu kita belajar doank, tanpa basa-basi langsung pulang.” Aku menganggukkan kepala tanda setuju dengan pernyataannya.
“Kita kan udah mau ujian Ses, jadi harus kurangin main dan fokus sama pelajaran.” Tanggapku mengigat ujian semester di depan mata.
“Iya, makanya sekarang kita keperpus kan? Padahal yang lain udah pada pulang.” Seshi terdengar agak mendumal.
Bumi berjalan tanpa memberi tanggapan, aku perhatikan tatapannya kosong seperti sedang memikirkan sesuatu. Aku rasa ia bukan sedang memikirkan pelajaran, apa ia sedang teringat mendiang ayahnya?
“Bum.. teori tata surya kita pelajarin di kelas berapa dah?” tanyaku berlaga lupa.
“Kelas sepuluh.” Jawabnya terasa garing.
“Aku belum hapalin semua teorinya lagi.” Keluh Seshi. “Belum lagi Sosiologi, Ekonomi… ya ampun akuntan banyak yang belum aku ngerti.” Seshi terdengar panik. “Ayo buruan!!!” Seshi menarik tangan kami.
“Kayaknya aku gak bakat jadi akuntan deh Er.” Aku menyerahkan buku teori Akuntansi milik Erka. Melihat isinya saja sudah membuat kepalaku berdenyut. Bagiku memahami seluk beluk tumbuhan akan lebih mengasyikkan.
“Ram, masakan ibu sudah matang nih. Kalau mau makan cepat turun. Nanti makanannya keburu dingin.” Ujar ibunya Erka yang tadi aku temui sedang sibuk di dapur.
“Ibu tuh kalau ada kamu, suka lupa sama anaknya sendiri.” Cetus Erka sambil merapikan buku yang sedang ia pelajari.
“Iya Bu…” tanggapku pada pada sang ibu. Kemudian aku dan Erka keluar kamar dan menuruni anak tangga menuju meja makan.
Bagi ku keluarga Erka bukan sekedar rumah yang aku kunjungi. Malainkan aku juga bagian dari mereka, begitu pun sebaliknya. Sejak SD kami memang sudah satu sekolah bahkan sering satu kelas. Selain karena kami yang selalu satu sekolah, rumah kami yang tak terlalu berjauhan, ibu kami juga berteman akrab. Terlebih saat keluar kota ibuku menitipkan kedua anaknya pada Bu Zahra, ibunya Erka. Jadi aku dan Yogi sudah di anggap anak sendiri oleh orang tua Erka.
“Kalian makan yang benar, jangan lupa cuci piringgnya sehabis itu. Ibu mau arisan RT.” Pesan Bu Zahra sebelum pergi.
Aku dan Erka makan berdua dengan tenang di meja makan. Menikmati hidangan nasi dengan sayur lodeh dan cumi balado serta tempe sebagai lauknya.
“Cuciin piring aku sekalian donk.” Ledekku pada Erka seusai kami makan.
“Tapi kamu kerjain tugas akuntansi aku ya.” Ledeknya balik sambil mengambil piring yang ada di hadapku.
“Kalau kamu mau nilai yang setengah sih gak masalah.”
Aku mengangkat mangkuk sayur yang masih berisi setengah. Tanpa aku duga Erka berbalik dan kami tertabrak hingga kuah sayur tumpah ke bajuku.
“Sori Ram, sini aku aja yang yang nyuci semuanya. Kamu ganti baju aja.” Erka langsung merebut mangkuk dari tanganku dengan rasa bersalah.
“Tugas akuntansi?” Aku masih meledeknya.
“Aku lebih bangga ngerjain tugasku sendiri. Udah ganti baju sana. Ambil aja bajuku di lemari.” Perintah Erka tak mau ambil pusing.
Aku segera meninggalkan Erka yang berkutat sendiri mencuci piring. Aku buka lemari Erka dan memilih baju yang yang sekenanya bagiku. Sesuatu mengusik pandangannku, sebuah sketsa menempel di balik pintu lemari. Sketsa Ran Mouri dengan busana karatekanya. Kenapa ia menempel gambar kekasih Sinichi kudo di balik pintu yang akan tertutup?
Aku perhatikan dinding kamar Erka. Di setiap sisinya ada gambar gadis ini. ada yang sedang tersenyum, cemberut, marah, menangis dan macam macam lainnya. Walaupun di setiap sisi dinding ada gambar Sinichi Kudo dan Conan Edogawa dengan ukuran lebih besar. Tapi tetap saja gambar Ran Mouri akan lebih banyak. Aku sering memukan gambar gadis ini di halaman belakang buku-buku Erka. Mungkin di setiap buku aku bisa menemukan gambarnya.
Apa Erka sangat menyukai Ran Mouri sampai ia memajang gambar tokoh kartun ini di setiap tempat. Seolah aku menangkap kejanggalan. Apa yang aneh dengan gambar komik? Mungkin hanya pikiran sepintasku saja.