Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Jika mataku terpejam, wajahnya yang selalu muncul, tapi jika mataku terbuka keceriaanya yang selalu terbayang. Ia selalu saja berlari-lari di benakku
Namanya Arlyka Kasih, aku mengenalya sejak setahun yang lalu saat kami masih duduk di kelas X, gadis yang dipanggil Arly itu sangatlah menarik hatiku. Keceriaannya, semangatnya, keberaniannya, kepolosannya, pikirannya yang selalu positif. Semua yang ada padanya membuat aku jatuh cinta. Semula aku pikir ini hanyalah perasaan sesaat, tapi ternyata setahun sudah berlalu dan aku belum juga melupakanya.
Sejak naik kelas XI dan tak sekelas lagi denganya aku jadi sering merindukanya dan semakin merindukanya, meski selalu menyempatkan diri menemuinya sekedar untuk meminta sebuah permen. Benar itu hanya alasan untuk melepas kerinduanku. Bahkan itu saja tidak cukup, tapi setidaknya aku bisa mendengar cerita Erka sahabatku yang sekelas dengannya.
Jika mataku terpejam, wajahnya yang selalu muncul, tapi jika mataku terbuka keceriaanya yang selalu terbayang. Ia selalu saja berlari-lari di benakku, memperagakan jurus silatnya di otakku. Senyumnya sangat manis bagai madu, tatapannya yang sangat teduh bagai rembulan. Aku di sini duduk merenunginya, sedang apa ia?
“Ram, Nai kemana sih?” tanya seseorang di hadapanku. Bahkan orang ini berganti rupa menjadi Arly. “Ramaaa! ditanya juga, Nai ko gak ada ya? Di toilet, di kantin, di perpus, di ruang guru, di taman, di kelasnya juga sekarang gak ada, dimana-mana gak ada, tahu gak sih dia kemana?”
“Gak tahu, kalau dimana-mana gak ada, berati dia sama Arly.”
“Lha! Ini aku Arly… Rama lagi ngelamun ya?” sewot orang di hadapku.
Hah? Iya benar, orang yang di hadapan aku ini Arly. Aduh, otakku jadi kacau gara-gara gadis ini. “Kalau dia gak sama kamu, aku gak tahu lagi dia dimana, kenapa sih emang?”
“Cuma mau nanya, nanti malam dia latihan atau enggak?”
“Lho? Bukanya pekan ini kamu udah latihan?” heranku mengigat jadwal latihannya,
“Iya, tapi karena dua bulan lagi kita mau ikut pertandingan, jadinya mulai pekan ini kita latihannya double.” Arly menjelaskan dengan penuh semangat.
“Baiklah, aku mendukung kalian!” seruku ikut bersemangat.
“Emang gak berat dukung kita berdua?” tiba-tiba Kinari muncul dari belakang Arly.
“Nai kamu kemana aja sih aku cariin!”
“Dari toilet!”
“Kok tadi aku cari ke toilet gak ada? Oo, atau mungkin waktu itu kita selisih jalan. Gitu ya?” Arly berpikir cepat.
“Mungkin!” jawabku dan Kinari kompak, “Oya, kayaknya nanti malam aku gak bisa latihan deh, aku mau ke rumah sakit.”
“Siapa yang sakit?”
“Cek up aja kok.”
“Owh, semoga kita dan keluarga sehat selalu ya!”
“Rumah sakit nanti gak laku donk!” lepasku.
“Rumah sakit kan tempat untuk menolong orang, bukan tempat untuk nyari keuntungan.” Jawab si polos ini.
Hal yang kurang aku sukai darinya adalah ia terlalu polos, sangat peka terhadap orang lain dan tidak egois, buat aku khawatir kalau dia akan mudah dimanfaatkan oleh orang lain. Tapi semoga saja apa yang aku pikirkan itu tidak pernah terjadi.
Kebetulan aku tahu bahwa malam ini Arly ada latihan tambahan, aku menyempatkan diri untuk melihatnya dengan ditemani Erka sahabat yang senantiasa mendampingiku. Tapi kami hanya berani melihatnya dari jendela di luar aula.
“Ya, ternyata dia orangnya baik banget.” Ujar Erka mengakui pujianku terhadap Arly. “Gak heran sih kalau kamu suka banget sama dia, tapi kenapa gak nyatain aja perasaan kamu? Sebelum keduluan orang lain kan?”
“Kalau sikap dia jadi berubah gimana? Dia ngejauhin aku? Oh engga, sumpah itu bakal jadi mimpi buruk Ka!”
“Dari pada jadi pecundang terus kayak gini?”
“Mau gimana lagi Ka?”
Tak lama aku melihat seseorang memasuki aula. Orang tersebut mirip sekali dengan Erka. Tunggu, di sampingku tidak ada orang. Erka, apa yang mau dia lakukan? Dia duduk di bangku dan melambaikan tangannya padaku. Seharusnya aku memperhatikan Arly, bukan malah mewaspadai Erka. Tapi kalau dia berbuat sesuatu bagaimana?
Erka melambaikan tangannya seolah memberi isyarat agar aku mendatanginya. Apa boleh buat? Tak ada pilihan lain.
“Ngeliatin Arly sambil duduk manis di sinikan lebih enak, daripada berdiri di sana kayak tukang ngintip.” Ujar Erka menyambutku.
“Iya iya!”
Sebelum ini aku pernah melihat Arly dengan gaya-gaya silatnya, tapi baru kali ini aku melihatnya berlatih, dan ternyata ia lebih keren dibanding dulu. Entah kapan aku bisa berhenti mengaguminya. Terlihat Arly yang berseragam kuning dan murid-murid lainya memberikan penghormatan kepada pelatih, mereka bubar dan kemudian Arly menghampiri kami.
“Kalian berdua kok di sini?” tanya Arly heran.
“Rama mau ngeliat kamu.” Jawad Erka semaunya, jawaban itu menjebakku.
“E… aku takut kamu bete karena Kinari gak datang latihan, jadi aku ke sini.” Jawabku beralasan.
“Ya ampun, sebegitunya kamu mikirin aku? Manis banget sih Ram.” Ucapnya seolah tesanjung. “Sebernarnya sih aku gak bete, karena di sini baik-baik kok semuanya sama aku. Tapi thanks ya kalian udah care banget.”
“Di sini ceweknya cuma kamu doang Ar?” pertanyaan Erka sama denganku, karena kami gak lihat perempuan selain Arly.
“Yupz, malam ini cuma aku yang latihan. Di sekolah, juga cuma aku dan Nai siswi yang ikut ekskul bela diri.” Jelas Arly sambil membuka ikatan sabuk Jingganya. “Eh aku ganti baju dulu ya! Habis itu kalian aku teraktir bubur kacang ijo di depan sekolah.” Ajak Arly bersemangat.
Gadis bertubuh tinggi dan berkulit putih berdiri menatapku dari luar kelas. Raia namanya, dengan jari telunjuk ia menggulung-gulung ujung rambutnya yang panjang dan agak ikal. Tak lama ia melipat kedua tangannya, sepertinya ia memintaku keluar. Aku kurang suka dengan caranya ini, dia yang butuh tapi kenapa harus aku yang datang?
“Kenapa sih?” jawab ku agak sewot.
“Rama kok Erka sombong banget ya? Waktu aku ajak jalan dia malah nolak, sok sibuk banget sih?” keluhnya agak manja.
“Mungkin karena dia emang sibuk kali.”
“Sibuk! Sebelum ini gak ada cowok yang berani nolak ajakan aku.”
“Ekhem, sekedar bernostalgia aja ‘kalau dulu aku juga pernah nolak waktu kamu ngajak aku nonton.’ Ingat kan?” Ungkapku mengingatkan.
“Iya, tapi itukan dulu, gak usah dibahaslah!” kali ini Raia sewot. “Bantuin aku kek Ram, comblangin aku sama dia. Kamu kan teman dekatnya.” Raia memelas.
Haduh, kalau Raia kayak gini tau banget dah. Dia pasti lagi nyari pelampiasan ke cowok lain karena putus sama cowok barunya. Masa iya aku harus ngorbanin sahabat aku buat playgirl ini, gak mungkinlah. Apalagi hafal banget sama wataknya yang agresif, Erka mana mau.
“Aku mana bisa, Erka gak bakal suka kalau disodor-sodorin cewek kayak gitu. Lagian kenapa kamu putus sama Adhi?” tanyaku mengalihkan pembahasan.
“Sabtu malam kemarin dia gak dateng ke rumahku, alasannya sih belajar buat ulangan. Tapi besoknya libur gitu, ngapain juga belajar? Kerajinan banget, masa aku diabaikan, males banget!” Raia menjelaskan dengan kesal plus panjang kali lebar.
Dasar cewek egois, padahal dulu dia ngejar-ngejar Adhi karna kepintarannya. Sumpah ini cewek dangkal banget. Emang sih Raia cantik, semua cowok pasti mau jadi pacarnya, tapi kalau udah tahu sifatnya, yang ada kesiksa lahir batin dah.