Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Kalau ditanya soal jati diri, sebenarnya saya bingung. Bukan hal yang mudah bagi saya mengenal diri ini. Tanpa mengenal Rabb Pencipta.
Mungkin, saya membutuhkan seorang psikolog yang mampu mendeskripsikan pribadi. Mungkin pula seorang guru yang mampu mengarahkan hidup.
Kesendirian saya yang terlalu lama inilah yang menjadikan mata takmampu berkaca.
Seharusnya, setiap orang memiliki sahabat yang erat, menjadikannya kuat. Ibarat sapu lidi yang tersusun dari ratusan batang-punggung daun kelapa. Bersama-sama, mereka menghempaskan debu dan sampah. Begitulah seharusnya sahabat yang dengannya kita bisa buat apa saja.
Contoh seperti yang tertulis dalam buku ini, mungkin kurang berwibawa. Anda juga dapat mengambil perumpamaan dari benda yang Anda lihat saat ini. Lembarannya yang banyak nanlembut meskipun terbuat dari kayu yang kaku, bisa bernilai tinggi bagi penulisnya.
Susunan kertasnya yang tebal berisi berbagai macam hal, terkadang membuat kita merasa bertambah. Setidaknya, ia mengingatkan kita akan sesuatu yang bermakna.
Di antara tokoh penting yang paling mengerti makna persahabatan ialah Umar bin al-Khatab. Ia pernah berkata mengenai makna itu sendiri “Nikmat terbesar setelah iman dan Islam, adalah persahabatan. Di manapun kalian mendapatkan kasih sayang sahabat, maka jagalah ia.”
Khalifah kedua dalam Islam ini adalah seorang sahabat Nabi Muhammad sampai dibumikan. Bahkan, makamnya terletak di sisi kekasihnya itu.
Ia adalah orang yang tegas dan penyayang. Menjadi pribadi sepertinya merupakan sebuah harapan. Menyusuri jalannya dan mengikuti langkahnya, mungkin akan lebih sulit tanpa mengenal diri dan teman. Cita-cita sebesar itu nampaknya tidak semudah menjadi editor profesional.
Mengedit suatu naskah hanyalah perlu mengolah pikiran. Namun, menjadi seperti Umar, haruslah menempa jiwa dan raga. Mengedit hanyalah pekerjaan yang tampak oleh mata, dapat diukur dengan hasta.
Menjadi editor dapat melalui jalan belajar bahasa beserta kaidahnya. Lantas, Jalan apa yang dapat mengarahkan kita pada keteguhan hati dan kemantapan langkah kaki?
Sungguh saya bingung jalan apa yang akan ditempuh. Benar sekali, apa yang telah disabdakan Nabi “Agama itu ibarat bara api.” Langkah saya belum sampai di atasnya, namun ragu dan takut sudah membakar saya.
Saya ingin menuju ke suatu tempat di mana seluruh umat Islam bersatu dan bersama, meskipun warna pakaian membedakan mereka.
Langkah kaki pertama ini masih saya ulur dan saya tunda, entah kapan harus memulai. Saat ini yang terpikir adalah saya membutuhkan motivasi.
Berjalan sendiri akan lebih cepat, tetapi tidak akan lebih jauh dari melangkah bersama orang yang terpercaya dan tercintai.
Saya sadar, harus memulai langkah itu dengan atau tanpa mereka. Dulu saya pernah bertemu sosok seperti mereka, namun terpaksa berpisah walau hanya formalitas. Umpama dua taman bunga, kami dipisahkan oleh sungai demi mengiringi alirannya.
Terlihat beragam warna yang melekat yang menjadi bukti keserasian kita. Warna yang timbul adalah upaya ikhlas karena kami tahu, tujuan baik tidak menghalalkan cara.
Cita-cita mulia haya boleh dilalui dengan cara terhormat. Sementara persaingan hanya akan memecah persatuan dan menjadikan seorang di antara kita tidak rela.
Hanya kerja sama yang membantu untuk tolong-menolong bukan kerja sama-sama yang sebenarnya sendirian.
Entah mengapa kita saling terbelah? Mungkinkah karena orang Islam lupa akan tuntunan sholatnya! Mendekatlah ke arah tengah. Izinkanlah bahu dan kaki kita saling bersentuhan.
Mari kita sertai imam, satukan gerakan, sejuta kaki melangkah satu tujuan. Tidak peduli warna kulit dan jubah kalian, dengan demikian kita bersaudara.
Seorang muslim yang bersaudara harus lah saling mengingatkan dengan santun. Membaca raport adalah wajar, tetapi bukan membacakan di hadapan orang.
*Tulisan singkat dari pemuda yang rindu persatuan umat.
I Know That Feel.