Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Tahun itu menunjukkan angka 1978. Tepatnya di awal bulan Maret. Pondok Modern Darussalam Gontor mengadakan perhelatan akbar, Peringatan Setengah Abad usianya. Tak tanggung-tanggung, bersamaan dengan peresmian Masjid Jami‘, diundanglah orang nomor satu di negeri ini saat itu, Presiden Soeharto.
Bukan tanpa alasan. Berdiri tegaknya masjid itu, sepertiga dana pembangunannya, dari presiden. Wajar jika presiden diundang. Yang tak wajar, saat itu, suasana politik dalam negeri tengah genting bukan alang kepalang, setelah pemerintah mengendalikan kehidupan perguruan tinggi dengan proyek NKK-BKK. Hampir di seantero tanah air, terutama di Jawa, kebijakan itu ditentang hebat. Ribuan mahasiswa bergerak. Namun, akhirnya kalah dengan moncong senjata.
Nah, saat itu, tiba-tiba saja, Ponpes Gontor mengundang Presiden Soeharto, yang dianggap sebagai “biang kerusuhan.” Tentu saja, situasi amat sangat gawat. Pondok Modern Gontor mempertaruhkan reputasinya, terimbas cemoohan lawan politik presiden. Namun, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. Ketika ada yang bertanya, mengapa Gontor mengundang Soeharto, K.H. Imam Zarkasyi menjawab tegas, “Saya tidak mengundang Soeharto, tetapi mengundang Presiden Republik Indonesia.”
Ini peringatan bukan perayaan. Liman arada an yadzakkara aw arada syukura. Banyak yang tidak ingat dan tidak bersyukur.
~ K.H. Hasan Abdullah Sahal dalam acara sujud syukur 90 tahun Gontor di Istiqlal bersama Jusuf Kalla.
Persiapan pun dilakukan jauh hari sebelumnya. Kegamangan terjadi, yakni kesimpangsiuran tanggal kedatangan presiden. Antara tanggal 3–4 Maret 1978. Berkali-kali, melalui siaran lokal maupun nasional, panitia mengumumkan perubahan tanggal itu. Genting? Jelas, bahkan mendekati krusial. Sementara, keamanan disiapkan hingga beberapa ring, lengkap dengan penembak jitu dan peralatan berat militer.
Tanggal 2 Maret 1978, akhirnya, Peringatan sebagai pengukur kaliber itu pun dihelat. Hiruk pikuk dan kesibukan panitia meningkat tajam. Ribuan alumni berdatangan tiada henti hingga Subuh pagi itu. Tentara dan intel menyebar di mana-mana. Pukul 22.00 WIB malam menjelang peresmian massjid, tank-tank dan panser berkeliaran di sekitar kampus pondok dengan suaranya yang tak lazim di telinga penduduk desa.
Malam kian larut. Tentunya, di atas sajadah, Pak Zar duduk bertafakkur, berdzikir menghabiskan sepertiga malam, memohon keselamatan pondok, santri, dan juga ummat Islam. Bibir sepuhnya bergetar hebat, larut dalam doa. Allahumma sallimna wal muslimin. Sama sekali tidak ada yang tahu, apa yang akan terjadi esok pagi. Maklum, saat itu, beliaulah Trimurti yang tersisa, setelah setahun sebelumnya, K.H. Ahmad Sahal (Pak Sahal) mendahului menghadap Sang Khaliq.
Pagi pun tiba. H. Abdullah Syukri Zarkasyi, M.A., selaku Ketua Panitia, bersama anak buahnya, melakukan pengecekan terakhir di semua sektor dengan teliti: Balai Pertemuan, Masjid, dan para petugas di semua sektor. Semua telah siap. Tak ada hal yang mengkhawatirkan. Aman.
Usai mandi dan shalat Dhuha, Pak Zar bersiap dengan jas kebesarannya yang baru. Ketika itu, meskipun jas-jasnya masih bagus dan layak, beliau tetap menjahitkan jas baru, sebab tamu yang akan dihadapi adalah Presiden Republik Indonesia. Harga jas itu, kira-kira 10 kali lipat harga tiket kereta eksekutif Surabaya-Jakarta. Mahal? Relatif, mengingat fungsionalisasinya. Sederhana bukan berarti murah atau miskin.
Waktu kedatangan presiden kian dekat. Dengan beberapa alumni sepuh dan pantian pembangunan Masjid Jami‘ (H. Juned, H. M. Jazuli, Anggota Badan Wakaf Pondok Modern Gontor, dan istri, Pak Zar berdiri di bawah balkon Balai Pertemuan.
Saatnya tiba, sekitar pukul 10.00 WIB suara sirine meraung-raung memasuki kampus Pondok Modern Darussalam Gontor. Ribuan manusia dengan serta merta berdiri menyaksikan kedatangan tamu yang ditunggu-tunggu itu. Dari mobil anti pelurunya, nampak Presiden Soeharto turun, dan mengulas senyum kepada Pak Zarkasyi yang dengan bergegas menuruni tangga dan menyambutnya. Pelukan hangat dan rasa haru tersirat dari pertemuan keduanya. Setelah memperkenalkan beberapa petinggi pondok, Pak Zar mengajak Presiden memasuki Balai Pertemuan.
Acara dimulai. Sambutan demi sambutan beriring. Gubernur, Pak Zar, dan ditutup dengan sambutan Presiden RI, yang isinya sama sekali tidak menyinggung perasaan Gontor, hanya pujian dan rasa terima kasih yang mendalam. Seentara itu, sebelumnya, kecuali memperkenalkan Gontor kepada Presiden, Pak Zar juga menjelaskan panjang-lebar tentang pembangunan masjid. Ribuan hadirin mendengarkan dengan seksama.
Acara di Balai Pertemuan selesai, dilanjutkan dengan Peresmian Masjid Jami‘. Keluarnya Presiden Soeharto dari Balai Pertemuan menuju Masjid memang tidak jauh. Namun, tentu saja membuat Paspampres harus siaga satu. Sambil menggandeng Prof. Dr. H.A. Mukti Ali, Menteri Agama karibnya Pak Zar mendampingi Presiden mendekati tangga masjid. Di situ, telah siap tombol pembuka tabir, pertanda peremian masjid. Beliau mempersilakan Prof. Mukti Ali menekan tombol. Bersamaan dengan terbukanya tombol, sirine pun meraung mengiringi. Lantas, Pak Zar segera mendekatkan bibirnya ke mikrofon yang di siapkan. Dengan sekuat tenaga dan perasaan, disertai gemuruh rasa syukur, beliau teriakkan takbir tiga kali, “Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar!”, yang diikuti oleh ribuan hadirin. Suasana amat mencekam. Tak sedikit yang meneteskan air mata haru, air mata kebanggaan, air mata kesyukuran. Seolah, mereka, terutama para alumni, memahami dan merasakan apa yang ada di dalam hati K.H. Imam Zarkasyi.
Ada hal yang menarik. Beberapa tahun kemudian, K.H Imam Zarkasyi bercerita. Saat diteriakkan takbir secara gegap gempita itu, dengan serta merta, pasukan keamanan di ring satu mengokang senjata, mengantisipasi segala kemungkinan. Tapi nihil. Tidak terjadi apa-apa, kecuali ungkapan rasa syukur akan kebesaran Allah.
Setelah penandatangan prasasti oleh Presiden, Pak Zarkasyi mengajak tamunya naik ke lantai atas masjid. K.H. Bisri Sjamsuri, ulama sepuh karib beliau, dimohon membuka kunci pintu masjid untuk pertama kalinya. Tampak air mata haru dan syukur Pak Zar menggelinding di balik kaca matanya. Orang nomor satu itupun menyaksikan interior masjid yang sederhana, di sela-sela penjelasan Pak Zar tentang pembangunannya. Tak terkecuali, usai menuruni tangga masjid, Pak Zar pun menunjukkan kepada tamunya tempat wudlu bagi jama‘ah, dan menyaksikan hasil kreativitas santri di lantai bawah masjid, dan menara setinggi 45 meter.
Acara berakhir, di bawah menara itu, tuan rumah dan tamunya berpisah, berpelukan sangat lama, laksana dua orang sahabat yang akan berpisah. Begitu memasuki mobil, sambil tersenyum dan melambaikan tangan, Presiden mengucap salam pamitan. Pak Zar dan para hadirin yang menyaksikan ikut melambaikan tangan dan menjawab salam. Dengan langkah gagah, Pak Zar dan Menteri Agama RI, Prof. Dr.H.A. Mukti Ali, bergegas kembali ke Balai Pertemuan. Di sana, beberapa Duta Besar Negara Sahabat tengah menantikan kesempatan berpidato, mengucap tahniah. Acara dilanjutkan dengan makan siang di Pendopo Trimurti. Usai, dan para tetamu pun pulang.
Darussalam Gontor (Kampung Damai) bukan sekadar sebutan, melainkan riil, kampung damai: Siapa berkelahi, diusir; siapa mencuri dipulangkan; yang berbuat asusila pun akan terusir.
Namun, siapapun masuk ke dalamnya, insya Allah, aman, tak terkecuali presiden. Terbukti, saat ini telah 7 orang Presiden RI, seorang presiden negara sahabat, dan beberapa kali Syekh Azhar berkunjung ke Gontor. Kedatangannya tanpa huru-hara, Pengamanan ketat hampir tanpa guna, kecuali memang harus begitu standarnya. Termasuk kedatangan Presiden RI yang ketujuh, Joko Widodo.
Di tengah-tengah konstroversi keterpilihannya, Gontor mengundangnya. Maka, tak sedikit sumpah serapah yang diarahkan ke Gontor. Namun, dengan santun Gontor menunjukkan bahwa penyambutannya sangat standar, tidak menujukkan penghormatan yang berlebihan. Bahkan, Pimpinan Pondok dalam pidatonya mengatakan bahwa kedatangan presiden ini merupakan suatu keharusan, mengingat. semua presiden sebelumnya telah berkunjung ke Pondok Pesantren Gontor.

Maka, jika ada alumni Gontor yang mengatakan Gontor radikal, tudingan itu, sebenarnya, kembali kepada dirinya sendiri. Mungkin dia jarang atau bahkan tidak pernah sowan ke Gontor lagi setelah keluar. Melihat Gontor setiap hari tidak dapat disamakan dengan melihat Gontor seminggu sekali, sebulan sekali, setahun sekali, dsb.
Pondok Modern Gontor telah memiliki tradisi tersendiri dalam menyambut tamu penting. Pernah seorang yang mengiringi pejabat tinggi berkunjung ke Gontor mengapresiasi begini, “Cara Gontor menyambut tamu penting sudah standar Internasional.” Subhanallah, wa alhamdulillah, wa la ilaha illallah, Allahu Akbar! Bagi Gontor, tamu adalah ujian kaliber. Semakin tinggi kedudukan tamu yang datang, semakin tinggi pula kaliber pondok, serta berbeda pula cara menyambutnya.
Wasiat K.H. Ahmad Sahal buat para alumni:
Sering-seringlah jenguk pondokmu! Jangan kau jadikan WC, hanya didatangi ketika perlu!
Sekilas Info Pondok Modern Gontor:
-
9 Hal Yang Perlu Ditiru Pendidikan Indonesia Dari Gontor
-
2 Pola Pendidikan Gontor Yang Modern
-
Role Model Micro Teaching ala Pesantren Gontor
Sumber:
- Ustadz Nasrulloh Zarkasyi, Putra KH. Imam Zarkasyi