Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
“Nyoba ngertiin kamu? Kamu pikir buat apa selama ini aku mau ngedeketin Raia? Aku selalu nyoba ngertiin kamu, tapi apa? Kamu sendiri yang gak mau ngerti.” Sedu Erka ditelingaku.
Ungkapan Erka tempo hari membangunkanku dari keterlelapanku karena bersedihan sepulang sekolah tadi. Bodoh, dari perkataannya itu seharusnya aku sadar bahwa menyukai Kaila. Aku malah tidak mengetahui dan malah ingin mencomblangkan dia dengan Raia. Sebagai sahabat yang baik, tentu saat itu ia tak enak hati jika tidak memenuhi kenginanku.
“Arly, Arly…”
Aku segera buka pintu saat mendengar namaku di panggil-panggil. Sosok Rama bertengger di depan rumahku, kemudian ia menunjuk kearah sampingnya. Aku melihat sosok Erka yang berdiri agak jauh dari Rama.
“Kalian? Ada apa?” aku yang baru bangun tidur, agak bingung kedatangan dua cowok keren di malam hari.
“Aku mau minta Atlasku.” Jawab Erka segera.
“Owh.” Aku langsung meninggalkan sejenak dua tamuku untuk mengambil buku Erka yang aku pinjam. “Maaf, aku lupa banget.” Ucap ku tak enak hati pada Erka.
Kebetulan ada tukang sekoteng yang lewat di depan rumahku maka kami bertiga memesannya. Di bawah langit berhiaskan kerlipan permata dan sebutir kilauan mutiara malam, kami berbincamg di teras rumah dengan di temani sekotemg hangat.
“Oya Ar, sepulang sekolah tadi kamu nyari aku?” Tanya Erka tiba-tiba.
“Ah?” Aku dibuat kebingungan mencari jawaban yang tepat. Tidak mungkinkan aku jawab kalau aku ingin menyatakan perasaanku.
“Iya, tadi aku lihat kamu mangil-manggil Erka.” Tambah Rama menguatkan. Kenapa untuk hal seperti ini harus ada saksi? Rama pula, sahabat terdekat Erka. Hal tak penting pun pasti disampaikan.
“Aku lupa.” Jawabku sekenanya.
“Dasar pelupa!” cecar Rama.
Aku hanya bisa mengembungkan pipi tembamku. Erka tertawa sedikit. Sebenarnya hal ini sulit bagiku. Bisa saja aku katakan sekarang pada Erka perihal perasaanku, tapi sejuta rasa malu menyergapku. Aku tak ingin terlihat sangat bodoh di hadapannya.
“Kak Yogi lagi patah hati gara-gara di duain sama ceweknya.” Lepas Rama. “Enggak, sama mantannya yang benar.” Rama segera meralat ucapannya.
“Padahal Kak Yogi keren.” Ujar Erka memuji kakak sahabatnya. “Kok bisa ya dia diduain.” Tambah Erka tak habis pikir.
Sepulang sekolah Arly ikut ke rumahku untuk melihat keadaan kakak yang patah hati. Dengan masih mengenakan seragam putih-abu, kami mengobrol di dekat kolam ikan teras belakang rumah bersama kak Yogi yang baru bangun tidur.
“Artinya Perempuan itu bodoh, karena gak bisa setia sama satu pria dan kakak adalah cowok yang sangat beruntung karena bisa dapetin perempuan yang lebih baik dari dia.” Ucap Arly bernasihat di hadapan kak Yogi.
Kak Yogi menganggukkan kepalanya dan mengeluarkan sebungkus kotak rokoknya dari saku celana. Kakakku yang baru mulai merokok, menarik sebatang rokok dari kotakknya, tapi sebelum rokok itu menempel di bibirnya, Arly segera merebut rokok itu beserta bungkusnya. Kak Yogi meloncat terkejut.
“Sejak kapan kakak ngerokok?” nada Arly meninggi membuat kak Yogi terduduk.
“Sejak patah hati.” Jawabku sambil berancang-ancang takut Arly
mengeluarkan jurus silatnya.
“Kakak bisa bacakan? Baca ini!” Arly menunjuk tulisan di belakang bungus Rokok.
“Kamu kayak guru SD aja!” seru kak Yogi.
“Baca!” Perintah Arly galak.
Kak Yogi menuruti kemauan Arly. “Merokok dapat menyebabkan serangan jantung, paru…”
“Kenapa Kakak ngerokok?” Arly nampak sangat geram, menyela ucapan kakakku mungkin ia bosan dengan kata-kata itu. “Mau bunuh diri? Mati itu gak usah di jemput, nanti datang sendiri.”
“Siapa yang mau mati sih Ar? Aku cuma mau ngilangin stres doang. Gak usah belebihan gitu.” Kak Yogi ikut meninggikan suara.
“Berlebihan?” Arly membanting sekotak rokok tersebut. Aku dan kak Yogi membelalakan mata kami karena kaget. “Aku pikir kakak cerdas. Tapi buat memaknai kemunafikan bungkus rokok aja kakak gak bisa.” Arly merendahkan nadanya. “Mungkin kalau gak ada rokok ayah aku bisa hidup lebih lama.”
Aku mengerti bagaimana perasaan Arly kini, ia pernah bercerita kalau ayahnya meninggal karena komplikasi. Pasti ia sangat membenci rokok karena hal itu.
“Ar,” kak Yogi berdiri. “aku gak maks…”
“Kakak tuh masih muda, jangan putusin masa depan kakak. Kalau generasi muda yang sekarang perokok semua. Gimana generasi setelah kita.” Arly berpikir panjang. “Mungkin dua puluh tahun lagi kakak masih hidup, tapi kakak gak akan sadar kalau kakak lagi sekarat. Kalau kakak meninggal karena triliunan zat berbahaya yang mengedap di tubuh kakak, kakak gak akan tahu gimana luka yang dirasakan anak dan isteri kakak.”
“Ar…” kak Yogi mencoba bicara tapi Arly terus bicara dan aku hanya bisa mendengarnya.
“Jangan lupa kak, kalau perokok pasif resikonya lebih parah dari pada perokok aktif. Gimana kalau anak dan isteri kakak menghirup asap rokok itu dan harus menderita sakit?” Arly mengingatkan. “Aku cinta banget sama ayah aku, satu hal yang aku sesalkan darinya, dia gak pernah ngerti kalau aku benar-benar mencintainya.”
“Ar..” aku berusaha menenangkannya.
“Maaf kalau aku berlebihan.” Arly melangkah keluar rumahku.
Aku berusaha mengejarnya tapi kak Yogi menahanku. “Dia butuh waktu sendiri.”
Erka membuka gerbang rumah Rama dan aku langsung melewatinya. Aku segera berlalu dari hadapan Rama dan kakaknya karena tak ingin mereka melihat air mataku. Aku tak ingin ada orang yang tahu kalau aku sangat lemah, benar-benar lemah untuk hal ini. Aku berjalan cepat tapi tak tahu ingin kemana. Malu kalau pulang dengan air mata.
“Kamu itu kuat di luarnya aja, tapi dalamnya sangat rapuh.” Seseorang seolah bicara untukku.
Aku menoleh. “Erka?” aku terkejut mendapati ia berjalan di sisiku. Makhluk seperti apa dia? Bisa muncul tiba-tiba.
“Dari tadi aku ngikutin kamu.”
“Hah?”
“Kamu nyelonong gitu aja waktu aku buka gerbang.” Erka memperjelas maksudnya. “Sebenarnya aku suka mata kamu yang besar. Tapi terus terang, kalau kamu nangis itu buat mata lebam dan merusak keindahan mata kamu.”
“Gombal!” aku memukul pelan bahu Erka. “Apa kamu ngerokok ka?” tanyaku penasaran.
“Gak berminat, sanyang kalau memubazirkan uang. Apa lagi kalau cuma buat di bakar kayak gitu.” Jawabya cepat.
“Kalau gratisan?”
“I love my body, i love my heart, i love my live..”
“I love you!” seruku dalam hati di tengah perkataannya.
“…I lov.” Erka menghentikan perkataanya dan menoleh padaku. Ia menatapku. Apa ia mendengar apa yang aku katakan? Rasanya suara di batinku tak bisa menembus telinga.
“What?” tanyaku pelan penuh heran di sertai ketakutan.
Erka menegakkan tubuhnya dan kembali mengarahkan matanya ke depan. Ia mempercepat langkahnya hinnga aku tertinggal agak jauh darinya. Tak lama ia terhenti dan menatapku kembali. Ada apa dengannya? Dia seperti itu membuatku salah tingkah. “Kita kelapangan yuk!” ajaknya sambil menarik tanganku.
Kami belari sambil bergandengan. Aku seperti ingat sesuatu tapi aku lupa apa itu. Rasanya aku pernah seperti ini tapi aku tak yakin. Erka melepas genggamannya saat kami sampai lapangan basket dekat rumahku. Kemudian ia berlari mengelilingi lapangan.
“Sebenarnya tadi aku mau nyamper Rama karena jadwal latihan kita sore ini di sini.” Lantang Erka berbicara padaku sambil asyik mengitari lapangan.
Aku tahu itu terlihat dari celana traning dan kaos basket yang ia kenakan. Tunngu! Kita – maksudnnya dia dan teman-teman clubnya? Lalu buat apa aku di sini?
“Tapi aku lihat kamu jadi aku lupa. Ke sininya malah sama kamu.” Sementara Erka masih bicara aku sembunyi di balik mobil yang terparkir asal di pinggir lapangan. “Ar? Arly…” Erka memanggil namaku. Mungkin ia heran aku hilang tiba-tiba. Sebelum yang lain datang, lebih baik aku pulang. Terima kasih Erka, udah buat aku lupa untuk menangis.
“Berlebihan?” Arly membanting sekotak rokok tersebut. Aku dan kak Yogi membelalakan mata kami karena kaget. “Aku pikir kakak cerdas. Tapi buat memaknai kemunafikan bungkus rokok aja kakak gak bisa.”
“Gak sangka lho, kalau Arly bakal kayak gitu.” Ujar kak Yogi yang sedari tadi berbaring di sampingku.
“Kakak tuh masih muda, jangan putusin masa depan kakak. Kalau generasi muda yang sekarang perokok semua. Gimana generasi setelah kita.” Arly berpikir panjang. “Mungkin dua puluh tahun lagi kakak masih hidup, tapi kakak gak akan sadar kalau kakak lagi sekarat. Kalau kakak meninggal karena triliunan zat berbahaya yang mengedap di tubuh kakak, kakak gak akan tahu gimana luka yang dirasakan anak dan isteri kakak.”
Dari matanya seakan aku bisa menerawang kalau ia sedang memikirkan perkataan Arly padanya. Aku pun cukup terkejut melihat Arly yang seperti itu. Berlebihan, tapi tidak juga. Apa yang Arly katakan memang benar.
“Hebat ya dia, bisa lebih galak dari ibu kita.” Pujiku sambil menarik selimut bersiap untuk tidur.
“Aku jadi malah kagum sama dia, gak heran kamu bisa keblenger suka sama dia.” Kali ini aku memandang heran kakakku. Apa maksud perkataannya? Aku tidak mengerti. “Dewasa, bijak, tegas. Padahal aku lebih tau dari dia, aku jadi malu.” Yogi menarik selimut dan menutup wajahnya dengan selimutku.
“Kamu gak tidur di kamar kamu kak?” Bukannya menjawab pertanyaanku, kak Yogi malah memelukku. “Ih, tumben amat nih orang.”
Mungkin kakakku sudah mulai terlelap dan sampai di awang mimpi sementara aku belum bisa menutup mataku. Meskipun aku bertekat fokus pada pelajaran, tetap saja Arly tak akan pergi dari pikiranku. Gadis itu, kenapa ia mengejar Erka seakan ada yang sangat ingin ia sampaikan hingga ia tak menyadari bahwa aku memanggilnya di belakang.
Lupa menjadi alasannya untuk menghindari pertanyaan kenapa ia mencari Erka. Apa mungkin Arly ingin mengembalikan atlas yang ia pinjam? Sepertinya bukan. Gadis itu menyukai Erka, aku merasakannya. Beruntung sekali sahabatku, tapi bagaimana dengannya? Apa ia juga menyukai Arly? Lalu bagaimana denganku? Apa aku harus mengalah sementara perasaanku ini serius kepada Arly.
Waktu lalu Erka meminta Kaila menjadi pacarnya, aku tahu Erka tak serius dan bukan karena menyukai Kaila. Jika benar Erka menyukai teman sekelas Arly itu, kenapa Erka tak pernah cerita padaku. Sebenarnya aku berpikir kalau Erka juga menyukai Arly, tapi ia tak enak hati denganku, sebab itu Erka meminta gadis lain jadi pacarnya sebagai pelarian. Tapi aku merasa analisaku terlalu berlebihan.
Kalau generasi muda yang sekarang perokok semua. Gimana generasi setelah kita.