Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Harta merupakan salah satu kebutuhan terbesar dalam hidup yang tidak bisa dinafikan manusia. Lebih dari 9 ayat termaktub dalam al-Quran dan tak terhingga jumlah hadist tentang harta. Bahkan Allah subhanahu wa taala menjadikannya satu dari 2 perhiasan hidup di dunia,
المال والبنون زينة الحياة الدنيا…
Harta dan anak-keturunan adalah hiasan kehidupan dunia… (al-Kahfi: 46)
Menurut istilah fiqih, harta adalah segala yang dapat dimiliki dan dimanfaatkan. Menurut wujudnya, harta dibagi 2 unsur:
- Fisik: Wujud materi yang dapat dirasakan oleh indra manusia, contohnya bentuk mobil itu sendiri.
- Nilai: Manfaat yang didapat dari fisik tersebut, contohnya manfaat mobil, dan kenyamanan tinggal dalam rumah.
Kemudian harta dibagi dalam berbagai jenis sebagai berikut:
Pertama, Berdasarkan Perlindungan Syariat
1. Harta Berharga
Adalah harta yang memiliki harga jual dan harus diganti jika dirusak seseorang. Untuk memiliki harga jual, ada 2 syarat yang harus dipenuhi;
pertama, didapat dengan usaha dan ada pemiliknya;
kedua, pemanfaatannya dalam keadaan darurat maupun tidak, diperbolehkan menurut syariat, seperti uang, rumah tinggal dsb.
2. Harta Tak Berharga
Adalah harta yang tidak memenuhi 2 syarat di atas, seperti ikan di lautan yang tidak dimiliki siapapun, juga miras dan daging babi yang haram bagi muslim tidak boleh dikonsumsi.
Kedua, Berdasarkan Mobilitasnya
1. Tetap
Adalah harta yang tidak mungkin dipindahkan, seperti: tanah, bangunan dsb.
2. Bergerak
Harta yang dapat berpindah tempat, seperti: mobil, mebel dsb.
Ketiga, Berdasarkan Keidentikan Jenis
1. Identik
Adalah benda yang memiliki keserupaan bentuk tanpa adanya perbedaan penting dalam jenis maupun satuaanya, contoh: beras, kurma dan yang serupa lainnya.
2. Nonidentik
Adalah benda yang asalnya tidak memiliki kemiripan rupa, seperti karya-karya yang langka, atau memiliki kesamaan tapi di antara keduanya perbedaan yang berarti dari segi penggunaannya.
Keempat, Berdasarkan Eksistensinya
1. Konsumsi
Barang yang dapat habis ketika dimanfaatkan, seperti: makanan dan minuman.
2. Nonkonsumsi
Benda yang digunakan namun tidak habis, seperti: buku dan mobil.
Kelima, Berdasarkan Dapat Dimiliki atau Tidaknya
1. Harta Tidak Boleh Dimiliki
Semua yang dikhususkan untuk digunakan masyarakat umum, seperti: jalan umum dan jembatan.
2. Tidak Boleh Dimiliki Tanpa Hukum
Seperti benda-benda wakaf yang tidak dibenarkan untuk dijual, namun renovasi atau pembiayaannya lebih besar dari manfaat yang diperoleh.
3. Boleh Dimiliki
Semua yang tidak termasuk dalam 2 jenis di atas.
Kedudukan Harta Dalam Islam
Islam telah mengikrarkan kesakralan harta. Rasulullah shallallhu alaihi wa sallam melarang pemborosan1 dan menjanjikan mati syahid bagi siapa saja yang terbunuh karena membela hartanya.2 Beliau juga menyetarakan harta secara umum untuk menjaga dan melindungi hak kepemilikan, selama tidak bertentangan dengan maslahat umum.
كل المسلم على المسلم حرام : دمه و ماله و عرضه
ٍSetiap muslim haram bagi muslim lainnya: darah, harta, dan kehormatan.3
Islam memandang harta sebagai salah satu kemuliaan hidup dan media untuk mempermudahnya bagi manusia. Karena tidak tercela, sehingga tidak diposisikan sebagai sesuatu yang mungkar dan haram. Tidak pula mulia, sehingga tidak dipuja. Ia hanyalah alat, yang akan baik jika digunakan untuk kebaikan, sebaliknya jika digunakan untuk keburukan maka ia buruk. Allah berfirman:
فَأَمَّا مَنۡ أَعۡطَىٰ وَٱتَّقَىٰ ٥ وَصَدَّقَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ ٦ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡيُسۡرَىٰ ٧ وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسۡتَغۡنَىٰ ٨ وَكَذَّبَ بِٱلۡحُسۡنَىٰ ٩ فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلۡعُسۡرَىٰ ١٠ وَمَا يُغۡنِي عَنۡهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰٓ ١١
5. Adapun orang yang mendermakan hartanya dan bertakwa,
6. serta membenarkan balasan yang baik (surga),
7. maka akan kami siapkan baginya jalan yang mudah,
8. Adapun orang-orang kikir dan merasa dirinya cukup,
9. serta mendustakan balasan yang baik,
10. maka akan Kami siapkan baginya kesukaran,
11. dan hartanya tidak bermanfaat apabila ia telah binasa. (al-Lail: 5-11)
Hakikatnya harta tidaklah tercela, justru yang hina adalah orientasi manusia yang rakus, menghalalkan segala cara, menahan hak orang lain, boros lagi bangga diri.
Berdasarkan fakta ini Allah berfirman:
وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞ وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ
Ketahuilah, harta dan anak-anakmu itu hanyalah cobaan dan di sisi Allah-lah pahala yang besar. (al-Anfal: 28)
كَلَّآ إِنَّ ٱلۡإِنسَٰنَ لَيَطۡغَىٰٓ ٦ أَن رَّءَاهُ ٱسۡتَغۡنَىٰٓ ٧
6. Sungguh manusia benar-benar melampaui batas,
7. karena dia melihat dirinya serba cukup. (al-Alaq: 6-7)
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلۡبَنِينَ وَٱلۡقَنَٰطِيرِ ٱلۡمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلۡفِضَّةِ وَٱلۡخَيۡلِ ٱلۡمُسَوَّمَةِ وَٱلۡأَنۡعَٰمِ وَٱلۡحَرۡثِۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَاۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسۡنُ ٱلۡمََٔابِ
Pandangan manusia dijadikan indah, mencintai hasratnya kepada: wanita, anak, banyak harta berupa emas, perak, kuda terbaik, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (Ali Imran: 14)
قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٖ فِي سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ
Katakanlah! ‘jika bapak, anak, saudara, istri, keluarga, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya’. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (at-Taubah: 24)
Amru bin Auf al-Anshari radiallahuanh menyampaikan, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,
والله ما أخاف عليكم الفقر ولكن اخاف عليكم الغنى أن تنبسط لكم الدنيا كما انبسطت لمن قبلكم فتتنافسوا فيها فتهلككم كما اهلكتهم
“Demi Allah aku tidak takut jika kefakiran menimpa kalian, tapi aku takut jika dunia dibentangkan sebagaimana kaum sebelum kalian, kemudian kalian berlomba-lomba sebagaimana mereka, lalu dunia menghancurkan kalian seperti mereka dibinasakan.”4
Dari ka’ab bin Malik radiallahuanhu, Rasulullah ﷺ berkata
ما ذئبان جائعان أُرسِلا في غنَمٍ، بأفسَدَ لها من حِرص المرء على المالِ والشرف لدينه
“Bengisnya 2 ekor serigala lapar5 yang memangsa kambing tidak lebih parah dibanding kerakusan manusia terhadap harta dan kemuliaan yang merusak agamanya.” 5a
لكل أمة فتنة و فتنة أمتي المال
Dari Ka’ab bin Iyadh radiallahuanhu, ia berkata “Aku mendengar Rasulullah ﷺ berkata, ‘Setiap umat memiliki fitnah (cobaan dan ujian), dan fitnah umatku adalah harta’”.6
Al-Quran telah meyampaikan bahwa harta bukanlah sesuatu yang harus dicintai atau dibenci karena Allah telah menjadikanmya sebagai salah satu perhiasan, penunjang hidup manusia, dalam beberapa kesempatan menjulukinya sebagai “kebaikan”.
Amru bin Ash radiallahuanhu pernah meriwayatkan perkataan Nabi Muhammad ﷺ:
نعم المال الصالح للرجل الصالح
“Harta terbaik adalah yang dimiliki orang soleh.”7
Ibnu Abbas berkata, “Dirham dan dinar adalah stempel Allah di dunia. Tidak bisa dimakan dan diminum. Saat engkau memerlukannya, ia memenuhi kebutuhanmu.”8
Said bin al-Musyab juga menuturkan, “Tiada kebaikan bagi orang yang enggan mengumpulkan harta halal. Dengannya kehormatan terjaga dari meminta-minta, menjalin silaturahim dan memberi orang miskin.”9
Suatu hari ada yang pernah berkata pada Abu al-Zanad, “Engkau tidak mencintai dirham padahal ia mendekatkanmu pada dunia?” Dijawab spontan, ”Jika ia mendekatkanku pada dunia, sebenarnya ia menjagaku darinya.”
Pepatah bijak berkata, “Orang yang memperbaiki hartanya, sebenarnya telah menjaga 2 kemuliaan: agama dan harga diri.”10
Pada prinsipnya harta dalam Islam bukanlah tujuan akhir, melainkan hanya media barter. Siapa yang mengaplikasikannya berlandaskan hal ini, maka tepat gunalah harta itu ditangannya dan masyarakat. Berbalik 180 derajat bagi siapa yang menjadikannya sebagai puncak cita-cita, karena ia hanya akan menjadi gerbang kehancuran bagi pemiliknya dan orang lain.
Imam al-Ghazali berkata, “Harta ibarat ular yang memiliki bisa berupa bencana dan penawar berupa manfaat. Siapa yang menyadari akan bencana dan manfaatnya, maka ia aman dari keburukannya dan memperoleh kebaikannya.”11
Yahya bin Muadz mengeluarkan statement serupa, “Dirham adalah kalajengking, jangan mengambilnya jika tidak memiliki penawar, karena racunnya mematikan jika menyengat. Penawarnya adalah mendapatkanya dengan halal dan diinfakkan dijalan-Nya.”
Ia juga berkata, “Saat mati seorang hamba akan ditimpa 2 bencana yang tidak dialami saat hidup: hartanya diambil, kemudian ia dimintai pertanggungjawaban.”12
Bagaimanapun harta adalah hiasan duniawi yang tidak direndahkan Islam sehingga lepas dari genggaman, tidak pula dimuliakan sampai jadi ambisi orang-orang Islam, ia hanyalah alat untuk melakukan kebaikan. Agama ini menginginkan pemeluknya menjadi pejuang sejati yang menyibukkan diri dalam kebaikan untuk umat dan keluarganya menggunakan harta, agar dapat bernilai sebagai ibadah murni.
Dari sini pengusaha muslim dituntut untuk menggunakan harta Allah hanya dalam ketaatan, yakni meraihnya dengan halal, mengeluarkannya dengan cara yang diridhoi, tidak melupakan dunia dan peka akan kebaikan Allah berupa keluasan rezeki.
Harta adalah anugerah Tuhan yang harus diterima dengan cara yang baik dan disalurkan melalui cara yang elok, serta dibarengi dengan upaya mendekatkan diri dan syukur. Demikian ketetapan Islam berupa standar keimanan, moral dan pembangunan.
Rujukan:
- Shahih Muslim, jilid. 4, hal. 1986.
- Shahih Bukhari, jilid. 2, hal. 518.
- Tabarani, Mu’jam al-Awsath. hal. 93.
- Shahih Muslim, jilid. 4, hal. 2283.
- Hewan kejam seperti singa, menunggu mangsanya benar-benar mati baru kemudian dimakan dagingnya. Berbeda dengan serigala, ia merobek perut mangsa, mencabik dan memakannya walaupun masih hidup dan bernafas.
5a. Sunan Tirmidzi, Dar al-Turats al-Araby: Beirut, jilid. 4, hal. 588. - Sunan Tirmidzi, jilid. 4, hal. 569.
- Musnad Ahmad, Jilid 4, halaman 197.
- Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Bashri al-Mawardi. Adab al-Dunya wa al-Din. Dar al-Furjani: Kairo, 1983. hal. 195-196.
- Ahmad bin Abdirrahman bin Qudama al-Maqdisi, Mukhtashor Minhaj al-Qosidin, Dar al-Turats, 1398 H, hal. 196.
- Al-Mawardi. Adab al-Dunya wa al-Din, hal. 196.
- Al-Ghazali. Ihya Ulumiddin, jilid 3, hal. 221.
- Ibnu Qudama al-Maqdisi, Mukhtashor Minhaj al-Qosidin, hal. 196.
- Hasan Albana, Hadits al-Tsulasa, Maktabah al-Quran, Kairo, hal. 402.