Blog artikel edukasi Islam di atas dan untuk semua golongan.
Sungguh aku mengkhawatirkan Rama, sebab itu aku ingin menjenguknya. Tanpa ragu aku mengetuk pintu rumah Rama, tak lama pintu terbuka dan Kak Yogi menyambutku dengan ramah. Tapi sayangnya aku tak bisa menemui Rama karena dia baru saja tidur.
Lama tak bertatap muka dengan kakaknya Rama, banyak pembahasan yang kami bicarakan. Kami mengobrol di gazebo kecil halaman rumah. Dari cerita kak Yogi pula, aku tahu penyabab Rama sakit gigi. Sedikit merasa bersalah tapi kak Yogi menghiburku.
“Walaupun Rama adikku, aku gak akan mihak dia. Bukan salah kamu kalau dia patah hati. Perasaan gak ada yang bisa maksa. Tapi salah dia karena gak pernah ungkapin perasaannya.”
“Kakak dewasa banget.” Pujiku untuk pemikirannya.
“Iyalah, aku ini seorang kakak. Itu yang menuntutku jadi dewasa.”
Aku kadang iri, Rama beruntung sekali mempunyai seorang kakak yang sangat baik dan selalu ada di sisnya, membuatku sangat merindukan Abangku yang sedang jadi TKI di luar negeri sana. Tak heran kenapa Rama begitu menyayangi kak Yogi.
“Aku jadi kangen pengen SMA lagi, ngerasain cerita kayak kalian lagi. Tapi sayangnya masa aku udah lewat.” Sesal laki-laki yang berbeda 4 tahun usianya denganku.
Sebenarnya aku masih tak ingin masuk sekolah. Tapi aku tahu Arly semalam datang untuk menemuiku. Aku jadi bersemangat dan sangat senang ia khawatir denganku, meski itu hanyalah khawatir sebagai sahabat. Aku juga dengar perkataan Yogi itu. ‘Bukan salah kamu kalau dia patah hati. Perasaan gak ada yang bisa maksa. Tapi salah dia karena gak pernah nyatain perasaannya.’
Aku yang salah, aku menyadari itu. Seharusnya aku bisa bersikap lebih dewasa tidak kekanak-kanakan. Aku harus menerima kekalahan ini. Tidak! Bukan kekalahan, karna Arly bukanlah sebuah piala dalam suatu pertandingan. Aku akan berlapang dada untuk menerima keputusan Arly.
“Terima kasih ya semalam kamu jenguk aku.” Ucapku pada Arly dengan tak leluasa karena gigiku masih nyeri saat menemuinya di kelasnya.
“Aku gak akan ngasih permen lagi, janji!” ucapnya berikrar dengan riang.
“Walau kamu berhenti ngasih aku permen, aku gak akan berhenti mencintai kamu.” Ucapku sambil meninggalkannya. Pertama kalinya aku bicara seperti itu pada seorang perempuan.
Mungkin aku terlambat mengatakan padanya, mungkin ia akan marah padaku dan mungkin juga akan menjauhiku. Ini sebuah keterlambatan yang harus ia tahu. Terserahlah bagaimana sikapnya. Aku akan terima itu.
Terkejut sekali aku mendengar perkataan Rama. Aku tak akan marah hanya karena ia mengatakan itu. Tapi masalahnya, Seshi yang duduk di sampingku juga mendengar itu. Bahkan aku merasakan pilunya tanpa aku menatap gadis imut itu.
“Nyontek Peer MTK donk Ses!” pinta Bumi memelas pada Seshi.
“Kebiasaan!” Seshi memukul ringan kepala Bumi dengan bukunya.
Aku mersakan duka yang disembunyikan itu, yang sebenarnya juga aku rasakan. Aku ingin meminta maaf, tapi tak tahu untuk apa.
Erka dari belakang lewat dan menyentuh pundakku seakan memintaku mengikutinya keluar kelas. Aku bangkit dan mengikuti laki-laki bertubuh tinggi itu. Di luar kelas Erka memberiku sebuah permen karet seperti waktu itu. Tanpa di pinta aku mengunyah permen pemberiannya.
“Aku tahu, pasti ini sulit banget buat kamu. Kamu pasti ngerasa gak enak hati sama Seshi. Serahin aja Seshi ke Bumi. Jangan terlalu dibawa beban, apa lagi sampai ganggu pelajaran kamu.”
Kemarin aku masih berpikir Erka bersikap dingin padaku. Tapi sekarang aku malah merasakan kehangatannya.
“Oya Ar, soal Raia. Aku pikir gak ada salahnya kalau aku sesekali ngedate sama dia.”
‘Deg’, jantungku dihujam tsunami. Seharusnya aku merasa senang usahaku mulai nampak hasilnya. Tapi kenapa aku seakan tenggelam, sesak, aku membutuhkan udara karena mendengar Erka barusan.
“Bagus, kenapa gak dari dulu sih mikir begitu.” Kataku riang dengan penuh kemunafikan. Karena sebenarnya, entah kenapa aku merasa sedih.
“Arly itu benar-benar polos, dia cuma gak mau nyakitin perasaan orang lain.” Kinari duduk disampingku saat aku tengah merenung. Ada benarnya ucapan Kinari, meski tanpa disadari, Arly menyakiti perasaanku. “Aku harap kamu gak berpikir egois. Di sini bukan cuma kamu yang tersakiti. Justru sebenarnya Arly menyakiti perasaannya sendiri.” Tambah Kinari.
Arly, gadis itu memang bodoh, aku mengerti maksud Kinari. Kalau memang dia tidak menyukai Dhani, kenapa dia menarima laki-laki itu? Bukankah dia hanya menyakiti perasaannya sendiri. Arly gak akan menyadari itu karena dia terlalu polos.
“Mungkin ini pemikiran aku aja, aku ngerasa Arly suka sama Erka.”
Pernyataan Kinari sungguh mencengang. “Kenapa kamu berpikir seperti itu?”
“Entahlah.” Kinari menaik turunkan pundaknya. “Yang jelas bukan kamu yang dia suka, yang suka sama kamu itu Seshi. Kenapa kamu gak coba nerima Seshi?” Usul Kinari tiba-tiba.
“Kasian Seshi kalau cuma jadi pelarian aja. Lagian aku gak sebodoh Arly yang mau ngorbanin perasaannya sendiri.”
“Aku bodoh?” tiba-tiba Arly ada dibelakang kami.
“Sejak kapan kamu ada di sini?” Kinari tak kalah terkejut sepertiku.
“Sejak Rama bilang kalau aku itu bodoh!” sewot Arly tidak terima.
“Oya, aku kan ke sini mau ngasih kabar bahagia. Kalian orang pertama yang aku kasih tahu.” Arly merangkul pundak kami.
“Akhirnya, Erka mau ngedate sama Raia.” Ungkap Arly perlahan.
“Itu artinya aku berhasil!” ujar Arly riang dengan lantang di telinga kami.
“Arly!” Aku dan Kinari melepas rangkulannya. “Gak penting!!!” dengan kompak kami meninggalkan Arly di depan kelas.
“Hei, tapi ini keberhasilan aku!” ujar Arly tanpa mendekati kami.
“Arly, kenapa sih dia harus pura-pura senang gitu. Padahal aku tahu dia sebenarnya sedih.” Ujar Kinari sewot saat duduk di bangkunya.
‘Sebenarnya sedih?’ apa maksud penyataanya itu Arly sedih? Kenapa? Apa karena Erka yang mau menerima Raia? Benarkah Arly menyukai Erka?
Aku bodoh? ‘sebodoh Arly yang mau ngorbanin perasaannya sendiri.’ Begitu yang Rama bilang. Aku benar-benar tersinggung tapi apa boleh buat, mungkin memang benar perkataannya. Aku ini bodoh.
Aku sampaikan kabar gembira pada Raia. Girang bukan main, Raia sampai naik-naik ke atas meja. Erka, hebat sekali dia bisa membuat Raia sangat norak. Sebelumnya Raia yang selalu membuat para cowok yang mengajarnya menjadi gila. Lihat sekarang? Hanya karena Erka mau berkencan dengannya ia bisa jadi seperti ini?
“Kayak habis dapat undian!” celoteh seseorang di sebelahku yang ternyata kak Dhani.
“Kok kakak di sini?” heranku mendapati ada kakak kelas di kelas Raia.
“Dari tadi aku ngikutin kamu, tapi kayaknya kamu gak nyadar. Aku mau ngajak kamu ke kantin. Yuk!”
Sering aku lupa, kalau sekarang aku memiliki suatu ikatan dengan kakak kelasku ini. Aku mengikuti ajakan kak Dhani untuk makan di kantin sekolah. Sebenarnya aku masih bingung, apa bedanya berpacaran dengan bersahabat? Kenapa banyak orang ingin merubah jalinan persahabatan menjadi berpacaran?
“Kak, kenapa kakak suka sama aku?” tanyaku saat meletakan makanan di meja. Aku duduk berhadapan dengan kak Dhani.
“Karena kamu baik?”
“Kakak tahu dari mana aku baik?”
“Aku suka sama kamu bukan baru, tapi udah lama. Mungkin dari pertama kali kamu ke sekolah ini.” Aku mengerutkan kening, meminta penjelasan untuk ucapannya. Sambil melahap makananku dengan santai aku mendengarkan kak Dhani. “Aku inget banget, pertama kali aku lihat kamu. Aku ada di belakang kamu. Kamu senyum manis banget ke pak satpam. Jarang banget aku lihat ada murid yang senyum ke satpam.” Tuturnya dengan santai juga sambil melahap makanannya.
“Berati kalau ada cewek lain senyum juga ke satpam kakak bakal suka juga sama cewek itu?”
“Bukan begitu Arly, oh iya. Kamu pernah negur aku buat buang sampah di tempatnya, waktu aku buag sampah permen sembarangan. Aku ini kakak kelas kamu dan jarang ada yang berani negur kakak kelasnya kayak gitu.”
“Terus kakak marah aku tegur?”
“Ya engaklah, justru aku jatuh cinta.” Ungkap kak Dhani.
Bahkan aku tak ingat kapan aku menegurnya. Jangankan kakak kelas, presiden sekalipun akan aku tegur jika buang sampah sembarangan di hadapanku.
“Oya, bentar lagi kakak ujian sekolah. Untungnya kamu pengertian, jadi gak akan marah kalau kakak cuekin.”
“Yang semangat ya kak!” aku menyemangatinya.
“Sebenarnya sih kakak lesu. Kalau kakak lulus, kakak bakal jarang banget ketemu kamu.”
“Gombal! Pelajaran dulu utamakan!”
“Siap Bu!”
Sungguh aku tak tahu harus bicara apa. Aku tak punya perasaan apa-apa dengan kak Dhani. Sedikit pun tak ada rasa takut kehilangannya.
Tanpa terasa waktu cepat sekali berjalan, ujian akhir semester telah menanti bulan depan. Aku harus berfokus pada pelajaranku atau kali ini nilaiku akan menurun dan jauh lebih kecil dari nilai Kinari. Tapi tetap saja aku tak bisa menyingkirkan Arly dari pikiranku.
Sejak ia berpacaran, aku jadi merasa jauh darinya. Meski ia bersikap biasa, tetap saja aku merasa ada yang berbeda. Bukan persaanku yang berubah, tapi kesempatan ku yang telah hilang. Seharusya aku yang makan bersamanya di kantin, atau setidaknya aku yang mengantarnya pulang.
Gadis bodoh, ingin sekali aku mengutuknya agar ia segera putus dari pacarnya dan tak ada laki-laki lain yang menyukainya kecuali aku. Tapi aku harus sportif. Mungkin aku bisa mendapatkan gadis yang lebih baik darinya. Tapi kenapa hati tak bisa lepas darinya.
“Apa ya yang buat dia beda dari cewek lain?” suara Erka menelusup pendengaranku dan membuyarkan lamunanku. “Di bilang baik, banyak cewek baik yang lain. Tapi kok bawaanya kalau kita gak pengen jauh dari dia.”
“Ya, sampai-sampai kita mau milikin dia seutuhnya.” Aku menambahkan perkataan Erka.
“Cinta gak harus memiliki sob! Kalau di paksaain, itu namanya Egois!” petuah Erka.
“Iya, ini aku lagi belajar ikhlas buat nerima kenyataan.”
“Jangan lupa juga sama pelajaran sekolah kita!” Erka mengingatkan.
“Ya iya lah.” Aku memastikan. “Oya Er, kenapa tiba-tiba kamu mau sama Raia?”
“Cantik.” Jawabnya singkat sambil membenahi buku kami yang berhamburan dilantai karena kami telah selesai belajar bersama.
“Kenapa gak dari dulu?” tanyaku terheran. Aku kenal sahabatku, Erka bukanlah tipe orang yang dangkal yang menilai orang di luarnya saja.
“Hhe,, ya dari pada Raia nagih ke Arly terus-terusan. Kasihan kan dia, kayak diincar sama depkolektor gitu.” Akhirnya Erka berkata jujur. Jadi Erka memikirkan Arly? Kalau benar Arly menyukai Erka dan juga sebaliknya. Entah bagaimana hancur leburnya perasaanku.
“Arly juga sih bodoh, kenapa mau aja di peralat sama Raia.” Lepasku menanggapi.